Mengenai Saya

Foto saya
Thariqah Sammaniyah al-'Aliyyah al-Qodiriyah al-Khalwatiyah - Syatthariyah 'Arifin Billah - Syatthariyah Ashaliyah - Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dibawah bimbingan : Guru Mursyid Tengku Mudo al-Khalidi as-Sammani as-Syatthari. Dengan alamat : Kelurahan.Jombang, Kecamatan.Ciputat, Kota.Tagerang Selatan, Provinsi.Banten. WhatsApp Admin : 082385789999

Senin, 01 April 2019

Kewajiban Mencari Guru Mursyid

Kewajiban Mencari Guru Mursyid

Adapun Hadis yang dijadikan sebagai dalil bahwa Ali telah menerima Tarekat dari Nabi adalah didasarkan pada Hadis ketika Nabi membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi :

وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ  وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ .

Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allah.

Lidah Ali telah tertungkat ke atas, tentulah lisannya tidak dapat menyebut Allah, Allah. Maka pada saat itu juga Ali ibn Abi Thalib mengalami fana fillah. Setelah Ali sadar, maka Nabi bertanya kepada Ali mengenai perjumpaannya dengan Allah, maka Ali berkata :

رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ

“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.

      Setelah Ali menceritakan perjumpaannya dengan Allah, maka kemudian Nabi membawa Ali di hadapan para umat dan berkata :

اَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِى بَابُهَا

“Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah pintunya”.
         
Dari beberapa Hadis di atas mengindikasikan bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat Nabi dan sekaligus sahabat yang diberi izin untuk mengajarkan Ilmu Tarekat ini dengan gelar “Karamullah Wajhahu” (karam/fana memandang wajah Allah) yaitu suatu gelar yang hanya diberikan kepada Ali ibn Abi Thalib karena ia telah karam/fana dalam memandang wajah Allah.

Jadi syarat utama untuk menjadi seorang guru atau pemimpin Tarekat adalah harus mencapai maqam fana fillah dan tradisi ini tetap dipegang teguh di kalangan ahli-ahli Tarekat hingga kini.Demikianlah ketatnya para Sufi dalam memelihara keotentikan ilmu yang mereka peroleh dari Rasulullah; sehingga bila ada Tarekat yang silsilahnya tidak dari Nabi ke Ali ibn Abi Thalib maka Tarekat tersebut tidak dapat diterima.‎

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Ilmu Tarekat adalah untuk mengenal Allah, sedangkan Tasawuf bertujuan untuk mengarahkan orang untuk mempelajari Ilmu Tarekat. Sebagai contoh, di dalam Tasauf terdapat ajaran bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru sebagaimana dikatakan Abu Yazid al-Bisthami : ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”. Adapun maksud dari ungkapan tersebut bahwa belajar Tasawuf harus melalui guru adalah bahwa Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat dipelajari tanpa terlebih dahulu mempelajari Ilmu Tarekat, dan mustahil Ilmu Tarekat dapat dipelajari tanpa melalui guru. Sebab Ilmu Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek sedangkan Ilmu Tasawuf bersifat teori. Oleh sebab itu Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh Ilmu Tarekat. Artinya kita tidak akan dapat memahami Ilmu Tasawuf tanpa bantuan guru, sebab tujuan dipelajarinya Ilmu Tasawuf adalah untuk mengenal Allah. Untuk dapat mencapai pengenalan kepada Allah tidak dapat dipelajari lewat teori, akan tetapi harus berguru atau belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah sebagaimana Hadis Nabi SAW :

عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ

Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
         
Berdasarkan keterangan Hadis di atas bahwa kita harus menyertakan diri kepada orang yang serta Allah, artinya kita harus belajar secara langsung kepada orang yang telah dapat serta Allah yang lazim disebut mursyid atau guru atau Syekh. Maka tidaklah berlebihan jika Abu Yazid al-Bisthami berpendapat bahwa: ”Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa berguru, maka wajib syetan gurunya”, pendapat tersebut didasarkan pada Hadis Nabi SAW :

مَنْ لاَشَيْخٌ مُرْشِدٌ لَهُ فَمُرْشِدُهُ الشَّيْطَانُ

Artinya: “Barangsiapa yang tiada Syekh Mursyid (guru) yang memimpinnya ke jalan Allah, maka syetanlah yang menjadi gurunya”.

Maksudnya adalah mustahil mereka dapat memahami ajaran Tasawuf tanpa melalui guru, apalagi untuk dapat mengenal Allah yang ghaib. Maka sudah barang tentu gurunya adalah syetan, artinya tanpa bantuan guru mustahil Allah dapat dikenal.
         
Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita petunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan. Dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat, apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam Tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT. Dengan bahasa yang lebih mudah, bila diibaratkan sebagai sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.

Oleh karena itu, untuk dapat mengenal Allah tidak cukup hanya dengan pembuktian melalui dalil Naqli (Ayat-ayat dan Hadis) dan dalil Aqli (Akal) semata, akan tetapi untuk memperoleh pengenalan kepada Allah anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar anda mengenal Tuhan yang anda sembah sampai kepada tingkat makrifat yaitu dapat menyaksikan Allah SWT.
         
Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud. Jangankan ilmu makrifat kepada Allah, yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di Fakultas Kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (Dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli), maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
         
Orang yang mengaku bisa mengenal Allah hanya dengan mengandalkan Ilmu Kalam dan membaca tentang agama dari bahan bacaan saja, serta kemudian mengingkari posisi penting Guru tidak lain karena kesombongan semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa mengenal Allah dengan hanya sekedar membaca. Guru yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh pengakuan juga dari Guru sebelumnya, secara sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW.
         
Apabila jalan kaum Sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syekh, niscaya orang seperti Imam Al-Ghazali dan syekh Izuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syekh. Sebelum memasuki dunia Tasawuf, keduanya pernah berkata, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah berbuat kebohongan kepada Allah”. Akan tetapi, setelah Imam Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam yang tadinya hanya belajar Syari’at kemudian memasuki dunia Tasawuf keduanya berkata,“Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan)”.
         
Orang yang bisa menemukan kebenaran bukanlah orang yang banyak membaca buku karena terkadang semakin banyak yang dipelajari justru tanpa sadar menjadi hijab antara kita dengan Allah. Hanya kerendahan hati dan sikap mau belajar dan mencari yang menyebabkan seseorang mengenal Allah SWT., sebagaimana ucapan rendah hati Musa kepada Khaidir,“Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”(Q.S. al-Kahfi : 66).

Iman Al-Ghazali juga mencari seorang Syekh yang menunjukkan ke jalan Tasawuf/Tarekat, padahal ia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syekh Izuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syekh Abu Hasan Asy Syadzili”. Abdul Wahab Asy Sya’rani berkata,“Apabila kedua ulama besar ini, yakni Al-Ghazali dan Syekh Izuddin ibn Abdussalam, padahal keduanya adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas tentang Syari’at, maka orang selain mereka tentu lebih membutuhkan lagi.”
         
Jadi tidaklah berlebihan jika para Sufi mengatakan bahawa mempelajari Ilmu Tarekat itu wajib hukumnya sekalipun sebesar-besar ulama :

طَلِبُ الشَّيْخُ وَجِبٍ عَلَى كُلِّ مُرِيْدٍ وَلَوْ مِنْ اَكْبَرِالْعُلَمَاءِ

“Bermula belajar kepada Syaikh (menuntut ilmu Tarekat) itu wajib hukumnya walau sebesar-besar ulama.”
         
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya mempelajari Ilmu Tarekat. Makna wajib di sini yaitu tidak boleh tidak, sebab tanpa bertarekat mustahil kita dapat mengenal Allah dan orang yang tidak kenal Allah sudah barang tentu “sesat” sebab ia tidak mengenal yang disembahnya, maka seluruh amal ibadahnya sia-sia dan tak akan dapat melepaskan azab Allah sebagaimana Hadis Nabi :

لاَتَصِحُّ الْعِيْبَدَةُ اِلاَّ بِمَعْرِفَةُ اللهِ

Artinya : “Tidak sah amal ibadah tanpa pengenalan kepada Allah

Oleh sebab itu siapa saja orang yang mengaku beragama Islam dan beriman kepada Allah, maka ia harus memiliki guru yang dapat mengenalkan ia kepada Allah, atau dengan kata lain, ia harus bertarekat atau bertasawuf. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Imam Malik :

مَنْ تَفَقَّهَ بِغَيْرِ تَصَوُّفٍ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَصَوُّفَ بِغَيْرِ تَفَقُّهٍ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ

Artinya: Barangsiapa mempelajari fiqih saja tanpa mempelajari tasawuf maka dihukumkan fasiq, dan barangsiapa mempelajari tasawuf saja tanpa mempelajari fiqih maka dihukumkan zindiq (menyimpang dari ajaran agama). Dan barangsiapa yang mempelajari kedua-duanya niscaya ia menjadi golongan Islam yang sesungguhnya.
         
Imam Malik berpendapat demikian karena dilatarbelakangi oleh Sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةُ عَاطِلَةُ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَةٌ

Artinya: “Bersyariat tanpa berhakikat sia-sia (kosong/hampa) dan berhakikat tanpa bersyariat batal (tidak sah).
         
Maka i’tibar yang kita ambil dari keterangan Imam Malik tersebut, bahwa siapapun diantara orang Islam yang tidak bertasawuf dengan melakukan aqidah dan syariah, hukumnya ialah fasik.
         
Setiap larangan untuk meninggalkannya, berarti perintah untuk melakukannya. Pokok pengertian tentang perintah, hukumnya wajib. Dalam hal ini Imam Ali Addaqqaq mengambil kesimpulan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Risalah al-Qusyairiah:

وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ حَقِيْقَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّهَا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ وَالْحَقِيْقَةُ أَيْضًاشَرِيْعَةٌ مِنْ حَيْثُ أَنَّ الْمَعَارِفَ بِهِ سُبْحَانَهُ أَيْضًا وَجَبَتْ بِأَمْرِهِ.

Artinya: Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya Syariat itu adalah Hakekat. Bahwa sesungguhnya Syariat itu wajib hukumnya, karena ia adalah perintah Allah. Demikian juga Hakekat adalah wajib hukumnya dan bahwa sesungguhnya terhadap mengenal Allah swt. adalah wajib hukumnya dikarenakan  perintah Allah.
         
Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mencari Guru Pembimbing (Mursyid) yang siap menuntun dan membimbing kita untuk mencapai pengenalan kepada Allah SWT. carilah Guru yang  benar-benar kammil-mukammil, yang tidak hanya pandai berbicara tentang teori ketuhanan, tetapi juga ahli di dalam praktek bertauhid yang dapat mengenalkan anda kepada Allah yang ghaib, sehingga anda dapat beribadah secara khusyuk karena anda telah mengenal Tuhan yang anda sembah. Abu Atha’ilah as-Sakandari dalam Latha’if al-Minan, berkata, “Engkau tidak akan kekurangan Mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka”.      
         
Berdasarkan penjelasan di atas cukup jelas bagi kita bahwa mempelajari Tarekat hukumnya adalah wajib. Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak mengetahuinya, dan kalau pun mereka mengetahuinya, mereka akan tetap enggan untuk mempelajarinya.

Maka beruntunglah orang yang telah mempelajarinya dan mendalaminya.

4 komentar:

  1. Terima kasih ustadz telah memberi masukan semoga Allah menunjukkan seorang untuk bagaimana caranya mendekat kan diri kepada Allah

    BalasHapus
  2. Terima kasih penjelasanya pak ustad

    BalasHapus
  3. Syukron buya.... InsyaAllah istiqomah...

    BalasHapus

"Terimakasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan"