Mengenai Saya

Foto saya
Thariqah Sammaniyah al-'Aliyyah al-Qodiriyah al-Khalwatiyah - Syatthariyah 'Arifin Billah - Syatthariyah Ashaliyah - Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dibawah bimbingan : Guru Mursyid Tengku Mudo al-Khalidi as-Sammani as-Syatthari. Dengan alamat : Kelurahan.Jombang, Kecamatan.Ciputat, Kota.Tagerang Selatan, Provinsi.Banten. WhatsApp Admin : 082385789999

Jumat, 31 Mei 2019

ILMU TASAWUF

###  ILMU TASAWUF  ###

****

       Adapun tujuan utama mendalami Tasawuf adalah untuk mencapai Ma’rifatullah yang sebenar-benarnya ( hakiki ),

       dan faedahnya sampai kepada ALLAH TA'ALA dengan tersingkapnya hijab (dinding) yang membatasi dirinya yang dhaif dengan ALLAH Yang Quddus.

       Jadi ,  bisa dikatakan bahwa tujuan terakhir dan utama dari semua pelaksanaan ibadah seorang hamba adalah utk mengenal ALLAH yang sebenar-benarnya yang dikatakan sebagai Makrifatullah.

       Dan dengan mempelajari ilmu Tasawuf itulah merupakan kunci mengenal ALLAH melalui pengenalan dirinya yang dhaif lagi faqir.

       Adapun jalan untuk bermakrifat itu ada  dua  ( 2 ) cara :

1.    Mulazamatudz Dzikri,   -   terus menerus berada dalam dzikir (ingat) akan ALLAH TA'ALA.

2.    Mukhalafa,   yakni terus menerus menghindarkan diri daripada segala sesuatu yang dapat melupakan ALLAH TA'ALA.

       Sebahagian Ahli Tasawuf berkata:      

*  Permulaan Tasawuf adalah ilmu pengetahuan,

*  Pertengahannya   -    kekal mengerjakan ibadah dan

*  Akhir kesudahannya adalah mauhibiyyah, iaitu turunnya pemberian kurnia ALLAH ”.

       Oleh itu ,

*     ilmu pengetahuan itu untuk membukakan kehendak.

*    amal ibadah menolong segala apa yang dimaksud.

*    dan pemberian berupa anugerah ALLAH TAALA bagi menyampaikan kepada apa yang dicita-citakan.

     Saudaraku yang senantiasa di rahmati ALLAH  !  

       Ketahuilah bahwa orang yang hidup di dunia tanpa mengingati  ALLAH SWT dengan berzikir kepada-NYA, maka tidak hairanlah bila hidup mereka menjadi lalai dan terlena.

       Tanpa mengingati ALLAH,  dia akan melupakan kematian yang akan menjemputnya kelak.

       Dan ketika itu dia merasa dunia masih terlalu panjang,  padahal ALLAH S.WT.  mengingatkan kita dalam firman-NYA bahwa ajal manusia itu lebih dekat daripada urat lehernya.

       Orang yang membiarkan hidupnya terombang-ambing di dunia,  maka akan menyesali dirinya sendiri.

       Apbila roh telah berpisah daripada jasadnya dan menuju ke akhirat ,  jiwanya akan kosong drp ma'rifat,  karena hatinya telah mati sebelum badannya mati.

Saudaraku !

       Ketahuilah bahwa :

*     hati yang tidak di suburkan dengan dzikrullah,  lama kelamaan akan mati.

*     Hati yang mati tidak akan menerima cahaya ALLAH.

*     Dia akan selalu hidup dalam bahaya selama hati itu tidak di pulih dan di hidupkan kembali.

       Cara yang paling baik untuk menghidupkan hati ialah dengan menuntut ilmu kepada  "Guru Rohani dan Sufi "  yang benar,  yang dapat menghidupkan hati.

       Dengan berguru kepada mereka akan membawa ketenangan hidup di dunia dan di akhirat.

       Mencari guru semacam itu perlu segera di lakukan selagi hayat masih di kandung badan,  selagi hidup di dalam dunia yang FANA ini,  dan sebelum umur sampai di garis tambatan.

(Sirr al-Asrar fi ma Yahtaj Ilaih al-Akbar oleh Asy Syeikh Abdul Qadir al Jilani).

****

ALLAHU  AKBAR

Disalin dari Dato Syekh Amdan

Selasa, 28 Mei 2019

Thareqat samman dikehidupan masyarakat Betawi




Tradisi Manaqiban Syekh Samman

(Studi Kasus pada Masyarakat Betawi di desa Kampung Janis, Pekojan Jakarta Barat)

oleh: Lina Halimah (07530056)

A. Pendahuluan

Di kalangan masyarakat Betawi di pantai Jakarta, warisan kebudayaan Islam tampak dari nilai-nilai agama yang telah terintegrasi ke dalam nilai budaya suku bangsa mereka. Sejalan dengan penerimaan sebagian unsur-unsur kebudayaan Arab melalui proses akulturasi sejak beberapa generasi lampau. Pada masa itulah orang-orang Arab dipandang elit oleh masyarakat Betawi, apalagi orang Arab keturunan Nabi Muhammad saw yang disebut Sayyid atau Habib. Mereka ini amat dihormati bukan hanya karena keturunan Nabi Muhammad saja, melainkan juga karena jasa mereka dalam penyebaran Islam. Betapa pentingnya keberadaan habib di mata orang Betawi, sehingga banyak orang Betawi yang belajar di Timur Tengah.[1] Terhitung sejak abad ke-17 dan abad ke-18, sejak jumlah orang Indonesia yang menuntut ilmu di Haramayn semakin banyak,[2] maka berbagai aliran tarekat pun mulai tumbuh dan berkembang di Tanah air, tak terkecuali dalam masyarakat Betawi di Jakarta.

Salah satu tarekat yang berkembang di masyarakat Betawi adalah tarekat Sammaniyah. Sammaniyah adalah sebuah tarekat yang penamaannya mengacu kepada pendirinya yakni Muhammad ibn Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Samman (1130-1189 H/1718-1775 M). Tarekat ini merupakan gabungan dari berbagai tarekat seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Sadziliyah.[3] Sejalan dengan perkembangan tarekat, banyak pula masyarakat Betawi yang mengamalkan ajaran tarekat, seperti pembacaan Ratib Samman dan Manaqib Syekh Muhammad Samman. Hal ini dapat dilihat dari corak keagamaan, pembacaan Barzanji di setiap perayaan pernikahan, khitanan dan lainnya.

Perkembangan tarekat Sammaniyah selanjutnya mengalami pergeseran, karena dari sudut geografis, Betawi merupakan pusat informasi dan transportasi, yang tentunya selalu mengalami perubahan. Tarekat yang pada akhir abad ke-18 sangat berkembang dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Betawi, saat ini dapat dikatakan sudah jarang pengikutnya. Akan tetapi, kegiatan pembacaan Manaqib Samman masih sering dilakukan oleh masyarakat Betawi. Menurut mereka, merupakan suatu keharusan bila seseorang bernazar dan menginginkan suatu maksud (hajat) untuk membaca hikayat Syekh Samman. Dengan demikian, maka tak heran jika kitab Manaqib Syekh Samman ini dapat ditemukan di hampir setiap rumah warga Betawi di desa Kampung Janis Pekojan Jakarta Barat.

Berangkat dari asumsi di atas, penulis mencoba melakukan penelitian mengenai penggunaan ayat-ayat al-Qur’an dalam pelaksanaan tradisi Manaqiban serta sejauh mana pemahaman yang dimiliki masyarakat Betawi mengenai kegunaan ayat-ayat tersebut.

B. Manaqib Syekh Muhammad Samman

Manaqib berasal dari bahasa Arab yang berarti sifat kebaikan seseorang.[4] Dalam perkembangannya, istilah ini sering disebut juga dengan hikayat, yakni sejarah orang-orang shaleh yang sudah dikenal masyarakat sebagai tokoh besar. Di dalam manaqib tersebut dikisahkan mengenai sejarah lahir, sifat-sifat luhur yang dimiliki, kekaramahan dan perjuangan semasa hidupnya.[5]

Adapun Sammaniyah merupakan sebuah tarekat yang didirikan oleh Muhammad ibn Abdul Karim al-Samman, seorang guru tarekat kenamaan di Madinah. Muhammad Samman dilahirkan dari sebuah keluarga Quraisy pada tahun 1130 H/1718 M dan wafat pada 1189 H/1775 M. Ia melewati masa hidupnya dengan menetap di Madinah. Tarekat yang dianutnya ialah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Khalwatiyah, Adiliyah. Ia menerima tarekat Qadiriyah dari seorang Syekh tarekat bernama Syekh Muhammad Tahir, di samping itu juga menerima tarekat Qadiriyah dari ayahnya.[6]

Sebelum mendirikan tarekat tersendiri, Muhammad Samman mempelajari dan mendalami berbagai tarekat kepada guru-guru terbesar di zamannya. Namun, ia bukan hanya ahli di bidang tasawuf, akan tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu Islam lainnya. Tersebut oleh Bruinessen dalam karyanya, bahwa guru-gurunya antara lain: Muhammad al-Daqaq, Sayyid Ali al-Athar, Ali al-Kurdi, Abdul Wahhab al-Thantawi dan Sa’id Hilal al-Makki; yang kelimanya merupakan ulama fiqh terkenal.[7]

Kitab-kitab manaqib Syekh Samman masuk ke Indonesia seiring dengan tersebarnya tarekat Sammaniyah, diperkirakan sekitar awal abad ke-19. Sampai saat ini, kitab manaqib tersebut masih ditulis dengan mempergunakan aksara Arab Melayu.

Disebutkan bahwa manaqib tersebut pada awalnya ditulis oleh Syekh Shiddiq ibn Umar Khan al-Madani, guru Abdul Shamad al-Palimbani dan Muhammad Nafis. Sebelum menulis sejarah hidup Syekh Samman, ia telah menulis syarh dari ­al-Nafahāt al-Ilāhiyyāh karya Syekh Muhammad Samman. Ia lalu menulis riwayat hidup gurunya dengn judul Manaqib al-Kubra, yang di dalamnya banyak diceritakan tentang keajaiban-keajaibannya. Kitab hikayat ini kemudian beberapa kali diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan berbagai tambahan, yang pertama kali oleh Muhammad Muhyiddin ibn Syihabuddin al-Palimbani dengan judul Hikayat Syekh Muhammad Samman.[8]

Berikut inti ajaran yang terkandung dalam Manaqib Syekh Samman:

1) Memperbanyak shalat dan dzikir

2) Berlemah lembut kepada fakir miskin

3) Menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi

4) Menggantikan akal basyariyah dengan akal rubbaniyah

5) Tauhid kepada Allah dalam dzat, sifat dan af’al-Nya

Ajaran yang terkandung dalam Manaqib Samman yang lainnya ialah anjuran agar kaum Muslimin membiasakan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw.[9] Doa shalawat ini dibaca empat kali seusai shalat subuh.

Menurut Snouck Hurgronje, Ratib Samman dan Manaqib Samman sangat populer di Kepulauan Indonesia pada abad yang lalu, dan dilaksanakan dengan gerakan badan menurut cara tertentu. Lafaz-lafaz yang diucapkan dalam ritual tersebut ditentukan oleh Syekh Muhammad Samman. Diceritakan bahwa orang yang membaca dan mendengarkan Manaqib tersebut dianggap berpahala dan bahkan tidak sedikit yang bernazar jika membacanya akan mendapatkan keberuntungan.

Diakui bahwa masyarakat Betawi lebih memilih sosok Syekh Muhammad Samman sebagai tawasul untuk mencapai tujuan dunia dan akhirat, berbeda dengan masyarakat Jawa Timur yang memiliki kecenderungan untuk bertawasul kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani. Hal ini disebabkan antara lain:

1) Dari perspektif geografis, Jakarta terhitung dekat dengan Palembang. Pada zaman dahulu, komunikasi antara alim ulama’ di Jakarta dan Palembang terjalin dengan amat baik, dan hal ini berpengaruh pada kegiatan keagamaan di kedua tempat tersebut, yakni mereka sama-sama bersumber pada sosok wali yang sama, Syekh Muhammad Samman.

2) Banyaknya orang Betawi yang belajar ke Mekkah

3) Naskah yang dirujuk oleh masyarakat Betawi menggunakan bahasa Arab Melayu, berbeda dengan tarekat Naqsabandiyah dan Qadiriyah yang Manaqib-nya menggunakan bahasa Arab.

C. Asal Usul Tradisi

Pada tahun 1186 H/1773 M, Abdurrahman al-Batawi, Muhammad Arsyad dan Abdul Wahab al-Bugisi kembali ke nusantara. Saat bersilaturahmi dengan Syekh Abdul Qahar, mereka juga mengadakan pembaharuan, dan tentunya memperkenalkan tarekat Sammaniyah kepada masyarakat Betawi asli yang saat itu dominan di Jakarta.[10] Perlu diketahui bahwa di Jakarta Selatan, Kuningan, ulama yang aling terkemuka saat itu adalah KH. Abdul Mughni (1860-1935 M), yang merupakan salah satu orang Betawi hasil didikan Timur Tengah. Sepulangnya ke Tanah Air, ia menyebarkan ilmu-ilmu yang diperolehnya di Mekkah, yakni Ratib Samman dan Syair Burdah, dan mengajarkannya kepada murid-muridnya yang datang dari seluruh pelosok Jakarta.[11] Maka, dapat disimpulkan bahwa tokoh yang paling berperan besar dalam penyebaran tarekat Sammaniyah dan ajaran-ajarannya di kalangan Masyarakat Betawi ialah Syekh Abdurrahman al-Batawi dan KH. Abdul Mughni.

Menurut Ibu Aminah, kebiasaan membaca Manaqib Samman di masyarakat Betawi ini bermula dari:[12]

1) Keluarga secara turun temurun

2) Lingkungan masyarakat yang melazimkan mengadakan kegiatan tersebut

3) Lingkungan pendidikan informal (misal: pengajian)

4) Lingkungan pendidikan formal (misal: madrasah, sekolah keagamaan)

D. Deskripsi Tradisi

1. Teknis Pelaksanaan

Dalam kegiatan keagamaan, pelaksanaan Manaqiban di Kampung Janis, Pekojan Jakarta Barat hanya dilaksanakan apabila ada perayaan syukuran seperti kelahiran anak, kesembuhan dari penyakit, dan seusai pesta pernikahan. Pelaksanaannya tidak dilakukan secara rutin dan dilaksanakan tergantung pada si empunya hajat.

Untuk mengadakan acara Manaqiban, lazimnya undangan datang dari si empunya hajat, dengan memberikan berita atau pengumuman ke setiap Majlis Ta’lim sekitar rumahnya, atau tempat-tempat si empunya hajat mengikuti pengajian. Kegiatan ini hampir tidak pernah dilaksanakan secara perorangan, karena pada umumnya Manaqiban merupakan upacara besar di desa ini.

Ketika pembacaan Manaqib mulai dilaksanakan, si empunya hajat mempersiapkan peralatan seperti kitab Samman, minyak wangi, kembang campur, segelas air putih dan surat Yasin. Biasanya, si empunya hajat mengundang tetangga untuk menghadiri acara tersebut dengan menyediakan makanan dan minuman sesuai dengan kemampuan orang yang melaksanakannya.

Pelaksanaan Manaqiban ini biasanya dipimpin oleh seorang guru ngaji atau seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat, Kegiatan ini dilaksanakan selama kurang lebih dua jam dengan prosesi acara sebagai berikut:

1) Pembukaan. Di dalam Pembukaan biasanya dijelaskan maksud dan tujuan dilaksanakannya acara Manaqiban tersebut.

2) Setelah diawali Pembukaan dari si empunya hajat, dilanjutkan dengan membaca kitab Samman.

3) Bersama-sama membaca surat al-Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, para sahabat dan auliya’ Allah. Kemudian dilanjutkan dengan membaca surat al-Ikhlash 3 kali, al-Falaq, al-Nas, al-Baqarah ayat 1-7, 163, 255, 285 dan 286, lalu membaca surat Yasin.

4) Membaca tahlil, lalu membaca doa (doa arwah dan doa Samman), dan yang terakhir Maulid.

5) Setelah pembacaan selesai dilakukan, orang-orang yang hadir berdiri, kemudian salah seorang memercikkan wewangian ke telapak tangan.

Dalam pelaksanaan Manaqiban ini, si empunya hajat menyediakan kembang dan minyak wangi, walau tidak menjadi suatu keharusan. Hal ini, menurut narasumber, pada dasarnya hanya dimaksudkan untuk mengharumkan ruangan saja, agar suasana menjadi lebih menyenangkan. Adapun penyediaan air putih dalam gelas atau kendi yang diletakkan di tengah ruangan, air ini memang diperuntukkan bagi para tamu undangan. Selain itu, terdapat pula segelas air yang dikhususkan untuk diminum oleh si empunya hajat atau salah satu keluarganya seusai upacara Manaqiban selesai, dengan maksud untuk mengambil berkah dari upacara tersebut.

Mengenai sajian bagi tamu undangan, menurut Ibu Nunung, seorang sesepuh Betawi yang seringkali memimpin upacara Manaqiban ini, biasanya jaman dahulu para empunya hajat hampir selalu menyediakan roti tawar, gula batu, kopi, teh, bahkan tumpeng serta ayam bakakak. Akan tetapi, pada masa sekarang tidak lagi, karena para empunya hajat cenderung menginginkan hal-hal yang lebih praktis. Menurutnya, adanya hidangan makanan dan minuman ini dimaksudkan agar menjadi daya tarik bagi para undangan agar lebih bersemangat dalam mengikuti upacara, dan juga dimaksudkan sebagai sedekah, sebagaimana yang terekam dalam kitab Manaqib Syekh Samman.[13]

Menurut Ustadzah Muhayah, kebanyakan masyarakat yang mengikuti kegiatan ini adalah bapak-bapak dan ibu-ibu (orang tua). Jarang sekali ada anak-anak muda (remaja) yang mau ikut bergabung dalam pelaksanaan acara tersebut. Hal ini, menurutnya, dikarenakan mereka (para remaja) menganggap bahwa acara tersebut hanya untuk orang tua atau orang yang sudah menikah saja, di samping itu mereka merasa ilmu yang mereka miliki belum sepadan untuk membaca manaqib.[14]

2. Tujuan Pelaksanaan

Tujuan dilaksanakannya kegiatan pembacaan Manaqib Samman ini yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas rizki dan karunia yang dilimpahkan kepada kita. Menurut Ustadzah Muhayah, kegiatan ini sangat baik karena memiliki tujuan yang baik dalam pengungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Kegiatan inipun dapat menjalin kebersamaan dan kekeluargaan yang erat antar sesama Muslim dan para tetangga.[15]

Lebih jelas lagi, penyelenggaraan Manaqiban yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi ini memiliki tujuan tertentu, antara lain:

1) Sebagian besar bermaksud untuk melaksanakan nazar karena Allah.[16] Hal ini menurut Bpk. Nashruddin didasarkan atas dalil dari al-Qur’an, yakni Q.S. al-Insan: 7.

يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

”Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”

2) Adapun dari mereka bermaksud untuk bertawasul kepada Syekh Muhammad Samman, karena Allah. Bertawasul kepada Waliyullah pada hakikatnya bertawasul dengan amal shalehnya.[17] Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Maidah: 35, yang menurut mereka merupakan dalil kebolehan bertawasul.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

3) Untuk bertabaruk kepada Syekh Muhammad Samman, dengan harapan mereka akan mendapatkan rahmat dan barakah dari Allah swt. Bertabaruk pada dasarnya sama dengan tawasul. Bertabaruk boleh dilakukan kepada para waliyullah, ulama’ dan orang-orang shaleh, dengan keyakinan bahwa manfaat dan madharatnya berada di tangan Allah semata.[18]

Ustadz Ma’muri, salah seorang tokoh pemuka agama Betawi menyatakan bahwa upacara Manaqiban ini mengandung keutamaan bagi masyarakat Betawi pada khususnya, antara lain:[19]

1) Selain bertujuan untuk memenuhi nazar, pembacaan Manaqib Samman secara bersama-sama juga dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan (ukhuwah islamiyah).

2) Menambah wawasan tentang kekaramahan para wali. Di dalam upacara Manaqiban, guru atau tokoh agama menerangkan berbagai macam hal mengenai kelebihan-kelebihan dan karamah-karamah yang dimilikinya.

3) Menambah kecintaan kepada para ulama’ dan orang shaleh.

3. Landasan Pelaksanaan

Saat penulis menggali informasi dari masyarakat Betawi yang merupakan pelaku dari upacara Manaqiban tersebut mengenai hal apa yang melandasi mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an tertentu dalam upacara, yang dapat penulis peroleh adalah bahwa mereka membaca ayat-ayat tersebut karena itulah yang tercantum dalam kitab Manaqib Syekh Samman, tak lebih.[20] Generasi setelahnya bahkan hanya memahami bahwa akan kurang ’afdhal’ dan kurang ’mantap’ jika upacara Manaqiban tidak diiringi dengan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, terutama Surat Yasin.[21]

Lain kepala maka lain pemikiran. Ketika penulis berusaha meng-crosscheck-nya kepada narasumber lain, yakni Bpk. Nashruddin, penulis memperoleh keterangan yang lebih kaya. Menurutnya, memang benar bahwa hampir keseluruhan prosesi Manaqib tersebut didasarkan pada ajaran Syekh Samman yang terangkum dalam Manaqib-nya.[22]

Adapun mengapa hanya beberapa ayat tertentu dari al-Qur’an yang dibaca, menurutnya ayat-ayat tersebut menimbulkan pengaruh yang jauh lebih kuat ketika dibaca dibandingkan saat membaca ayat-ayat al-Qur’an yang lainnya. Hal ini dikarenakan ayat-ayat tersebut memiliki keistimewaan dan karakteristik yang lebih khusus dibandingkan dengan ayat-ayat yang lain. Surat Yasin, menurutnya, dipilih karena adanya hadis yang menyatakan bahwa surat tersebut (Yasin) merupakan ’hati’ dari al-Qur’an.[23] Adapun pembacaan Q.S. al-Baqarah ayat 163 dan 255 (ayat Kursi), menurutnya dilakukan karena ayat tersebut sudah terbukti ’ampuh’ dalam hal menolak bala dan kesialan, sebagaimana halnya dengan Mu’awidzatain. Akan tetapi, syarat terpenting yang harus dimiliki adalah keyakinan yang kuat dalam diri pembacanya, agar apa yang mereka baca dapat benar-benar tersampaikan pada Allah.[24]

Sedang landasan pelaksanaan Manaqiban itu sendiri, menurutnya, didasarkan pada Q.S. Lukman:15, mengenai keharusan berada di belakang orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada Allah swt.

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Selain itu, terdapat pula hadis Qudsi yang menyebutkan keutamaan para wali Allah: ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan hal-hal yg fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada-Ku niscaya kuberi permintaannya….” [25]

Pada dasarnya, ajaran-ajaran tarekat Sammaniyah tersebut secara kuat berlandaskan kepada ajaran ketauhidan dan keimanan. Kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh-tokoh tarekat tersebut membahas secara komprehensif dan mendalam bagaimana mentauhidkan Allah pada af’al nama, sifat-sifat yang melekat pada zat, dan pada zat Allah itu sendiri. Pemahaman seperti inilah yang penting dan paling ditekankan dalam tarekat.

E. Analisis

Menurut Sidi Gazalba, masyarakat tradisional berpedoman ke belakang kepada tradisi yang terbentuk di masa lalu. Dalam hal ini, masyarakat Betawi pun demikian, mereka dengan kuat berpegang teguh kepada ajaran yang mereka terima dari guru, yang mana berasal dari warisan rentetan beberapa generasi sebelumnya.[26]

Dengan mengacu kepada tradisi, pengajian kitab-kitab di masjid-masjid oleh seorang (atau lebih) guru yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi, dapat diperkirakan bahwa selain sebagai tempat peribadatan, masjid juga berfungsi sebagai tempat pengajaran dan penyebaran Islam. Dengan proses itulah perkembangan Islam semakin kokoh. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi sangat menentukan tersebarnya pemahaman Islam di tengah masyarakat Betawi.

Mengingat berbagai pernyataan dan argumen yang dikemukakan para narasumber, menurut penulis apa yang warga Betawi coba lestarikan selama ini bukanlah hal yang ’omong kosong’ semata. Ayat-ayat al-Qur’an yang dipergunakan dalam tradisi Manaqiban memang merupakan ayat-ayat ’pilihan’, meminjam istilah Bpk. Nashruddin, yang memang telah dikenal luas oleh masyarakat awam sekalipun dan lazim dipergunakan dalam berbagai kegiatan keagamaan di masyarakat. Ayat-ayat tersebut terbukti tak hanya dipergunakan dalam tradisi Manaqiban saja, melainkan juga dalam rangkaian prosesi penyambutan jabang bayi (nujuh bulanan, aqiqah), selamatan pernikahan, dan banyak lagi. Al-Qur’an terbukti telah ikut berperan memenuhi sisi-sisi kehidupan manusia.

Adapun mengenai alasan peletakan air di tengah-tengah majelis Manaqiban, hal ini dirasa merupakan sesuatu yang logis dan dapat dipahami. Air, sebagai komponen utama penyusun makhluk hidup dan alam semesta ini, telah diyakini oleh sebagian besar orang dapat menerima dan memahami perkataan dan ungkapan baik. Berbagai penelitian ilmiah mutakhir telah banyak dilakukan dengan mengungkap kebenaran asumsi ini. Jika perkataan baik saja dapat memberikan pengaruh positif pada air, maka dapat kita bayangkan pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh ayat-ayat al-Qur’an terhadap air.

Menggaris bawahi pernyataan Bpk. Nashruddin mengenai ’keyakinan diri yang kuat’, penulis rasa hal ini bukan tanpa alasan. Tak hanya membaca al-Qur’an, yang memang jika melaksanakannya pun sudah menjadi amalan baik dengan pahala tertentu, segala sesuatu jika dikerjakan setengah-setengah niscaya tak akan dicapai hasil yang sempurna. Jika seseorang melakukan sesuatu tanpa didasari keyakinan, mungkin bisa dikatakan bahwa perbuatannya itu sia-sia belaka.

Sementara itu, diantara kekeramatan Syekh Muhammad Samman yang diceritakan dalam Manaqib Samman antara lain:

”Barang siapa membaca doa manaqib aku ini, bahwa telah memberi izin Allah Ta'ala kepadaku untuk menghadiri aku kepada orang yang membaca manaqib aku ini, dan menolong Allah Ta'ala apa-apa hajat mereka."
”Barang siapa yang menyeruku (Ya Samman) tiga kali, niscaya dengan lekas aku menolong akan kesusahan dunia dan akhirat bagi orang yang menyeru.”

”Barang siapa yang membaca Manaqib Syekh Muhammad Samman RA pada tiap-tiap tahun dengan orang banyak, disertai dengan membaca al-Qur’an dan tahlil serta sedekah, terutama dikerjakan pada hari wafatnya, niscaya dihiaskan oleh Allah akan rizkinya yang halal, serta dibukakan hatinya kepada jalan akhirat dan disampaikan oleh Allah segala hajatnya dari urusan dunia dan akhirat.”

Ungkapan tersebut ialah bertalian dengan tawasul, memohon kemudahan dari Allah dengan menggunakan tawasul Syekh Muhammad Samman.

F. Kesimpulan

– Tradisi Manaqiban Sammaniyah telah ada dan membudaya di kalangan masyarakat Betawi khususnya desa Kampung Janis, Pekojan Jakarta Barat, sejak awal abad ke-19 dan tetap lestari hingga saat ini, meski tradisi tersebut telah banyak menemui pergeseran dan perubahan dari generasi ke generasinya.

– Tradisi ini umumnya diselenggarakan dengan motif memenuhi nazar salah seorang warga kampung, atau sebagai rasa syukur pada Allah karena permintaannya telah terpenuhi.

– Ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca pada upacara Manaqiban ini antara lain: al-Fatihah, al-Baqarah ayat 1-7, 163, 255, 285 dan 286, surat Yasin, al-Ikhlash, al-Nas dan al-Falaq. Sebagian masyarakat memahaminya hanya sebatas bahwa ayat-ayat al-Qur’an tersebut itulah yang merupakan warisan Syekh Samman dan wajib untuk dibaca, tidak lebih, meskipun ada segolongan masyarakat yang tampaknya benar-benar memahami tujuan dan hikmah dibalik pembacaan ayat-ayat tersebut.

Daftar Bacaan

Atceh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat cet. IX. Solo: Ramadhani. 1993.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. I. Bandung: Mizan. 1994.

Berg, L. W. C. Van Den. Hadramaut dan Koloni Arab Nusantara. Jakarta: INIS. 1989.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. 1995.

CD-ROM Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.

Gazalba, Sidi. Islam dan Perubahan Sosial Budaya; Kajian Islam tentang Perubahan Masyarakat. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1983.

Habsyi, Husin al. Kamus al-Kautsar Lengkap Arab-Indonesia. Bangil, tt.

Thaha, Idris. “Islam dan Masyarakat Betawi”, dalam Kompas, Minggu, 13 Juli 2003.


Minggu, 26 Mei 2019

Thariqah Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah

Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah
(TQN) diinisasi dan dikembangkan oleh seorang ulama sufi besar asal Nusantara yang bermukim di Makkah yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas (Syaikh Ahmad Khatîb b. ‘Abd al-Ghaffâr al-Sambasî al-Makkî, w. 1875 M) sebagai penggabungan dari dua tarekat besar, yaitu Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah. Ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat Syaikh Ahmad Khatib Sambas terhimpun dalam kitab suntingan muridnya yang berjudul “Fath al-‘Ârifîn”.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas memiliki tiga orang khalifah utama yang meneruskan ajaran tarekatnya itu, yaitu
1).Syaikh Abdul Karim Banten yang berkedudukan di Makkah,
2).Syaikh Thalhah Kalisapu Cirebon (w. 1935), dan
3).Syaikh Ahmad Hasbullah Madura.
Dua nama ulama terakhir kemudian pulang ke Tanah Air dan menyebarkan ajaran TQN di Nusantara.

Dari jalur Syaikh Thalhah Kalisapu, kemudian melahirkan jaringan TQN di Jawa Barat. Khalifah Syaikh Thalhah Kalisapu adalah Syaikh Abdullah Mubarok (Abah Sepuh, w. 1956) dari Suryalaya, Tasik Malaya, yang kemudian diturunkan lagi kepada putranya, KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom, w. 2011). Adapun Syaikh Abdul Hadi Madura, beliau menurunkan jaringan TQN di Jawa Timur, seperti Syaikh Romli Tamim di Peterongan (Jombang, w. 1956), lalu kepada putranya KH. Musta’in Romli (w. 1984), juga kepada KH. Utsman al-Ishaqi (Surabaya, w. 1984) lalu ke putranya KH. Asrori al-Ishaqi (w. 2009).

Adapun dari jalur Syaikh Abdul Karim Banten yang meneruskan kemursyidan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah, TQN kemudian menyebar di wilayah Banten, Bogor (Jawa Barat) dan Jawa Tengah. Di Bogor, salah satu murid Syaikh Abdul Karim Banten yang paling utama adalah KH. Tubagus Falak (Pagentongan, w. 1972). Adapun di Jawa Tengah, murid utama Syaikh Abdul Karim Banten adalah Syaikh Ibrahim Brumbung (w. 1927).

Syaikh Ibrahim Brumbung (lahir 1839 M) sendiri berasal dari Terboyo, Semarang. Beliau adalah putra dari Sayyid Muhammad/Raden Yuda Negara atau yang dikenal dengan Sunan Terboyo. Ketika muda, Syaikh Ibrahim belajar di beberapa pesantren tua di Jawa Timur, seperti Pesantren Cempaka (Nganjuk) dan Pesantren Langitan (Tuban). Syaikh Ibrahim lalu pergi ke Makkah untuk belajar dan bermujawarah di kota suci itu. Di antara guru utama beliau di Makkah adalah Syaikh Abdul Karim Banten. Itulah mengapa di kemudian hari, Syaikh Ibrahim Brumbung memiliki kedekatan dengan KH. Tubagus Falak Pagentongan Bogor, karena keduanya adalah murid terdekat Syaikh Abdul Karim Banten semasa di Makkah.

Sepulangnya ke Nusantara, Syaikh Ibrahim kemudian menetap di Brumbung, Mranggen, Demak, dan mendirikan Pesantren al-Ibrahimiyyah sekaligus menjadi penyebar TQN. Beliau sezaman dengan Syaikh Soleh Darat Semarang (w. 1903). Dua orang putranya, yaitu KH. Ihsan dan KH. Thoyyib, meneruskan perjuangan sang ayah sekaligus menurunkan silsilah TQN. Salah satu cucu beliau yang masih hidup saat ini adalah KH. Abdul Wahhab Mahfuzi yang juga mengasuh pesantren al-Syarifah di Brumbung.

Syaikh Ibrahim Brumbung juga menurunkan banyak murid yang kelak menjadi ulama besar. Di antaranya adalah KH. Asy’ari Kendal (yang juga menantu beliau) dan KH. Abdurrahman Mranggen (pendiri Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen, Demak, w. 1941), juga putranya, KH. Muslih Abdurrahman Mranggen (w. 1981), yang sekaligus menjadi khalifah Syaikh Ibrahim Brumbung. Hingga saat ini, Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen Demak terkenal sebagai salah satu pusat persebaran ajaran TQN di Jawa Tengah yang mana sanadnya mengambil dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung itu. KH. Muslih Abdurrahman Mranggen sendiri menulis kitab “al-Futuhât al-Rabbiyyah fî al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah”.

Selain mengkaji jaringan kekerabatan antar “silsilah” (genealogi keilmuan) TQN yang membentang luas itu, mengkaji jaringan karya-karya TQN yang dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan murid-murid turunannya itu tentu tak kalah menarik. Misalnya, jaringan dan kekerabatan kitab-kitab (1) “Fath al-‘Ârifîn” yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas, lalu kitab (2) “Risâlah Silsilah al-Tharîqatain al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” yang dihimpun oleh “anak murid”-nya, yaitu Syaikh Abdul Karim Banten, dan “cucu murid”-nya, yaitu “Syaikh Ibrahim Brumbung”, kemudian kitab (3) “al-Futûhât al-Rabbâniyyah li al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” yang dihimpun oleh “cicit murid”-nya, yaitu KH. Muslih Abdurrahman Mranggen.


ZIKIRLAH DENGAN TAUHID

ZIKIRLAH DENGAN TAUHID

       Seorang mursyid menceritakan :

       Seorang  teman berkata kepadaku, "Sudah banyak zikir yang kubaca, sudah kuhafal seluruh maknanya dan sudah kualami keajaiban karamahnya.

       Hanya satu yang masih terasa kurang bagiku. Mengapakah dalam berzikir aku masih belum dapat merasakan dekat dengan Allah?

       Seolah-olah Allah itu jauh drpku, dan aku jauh drp-Nya. Seperti ada batas atau hijab pemisah antara aku dan Allah.

       Konflik persoalan ini terus bermain di lubuk fikiranku, sehingga terbawa-bawa ke klimaks batin yang amat membingungkan tanpa penjelasan.

       Akhirnya membuatkan aku sendiri merasa jemu untuk meneruskan zikir. Apakah ada yang salah pada zikirku? Padahal zikir-zikirku itu kuperolehi secara talqin dan ijazah dari seorang guru mursyid!"

       Pertanyaan drpnya itu tidak kujawab secara spontan. Agak lama aku terdiam sambil mengambil waktu untuk berfikir.

       Setelah aku yakin mungkin dapat membantu pertanyaannya itu, dengan tenang aku cuba berkata;

1.    *    Masalah yang utama sekali ialah dalam zikir itu kau tidak mengenal-Nya sebagaimana mengenal-Nya dengan sebenar-benar kenal.

         *    Kau sekadar mengenal-Nya dalam ilmu-ilmu kalam yang kau pelajari tetapi tidak dengan rahsia misykat qalbumu yang terdalam.

         *    Apabila kau tidak mengenal-Nya dengan qalbu, maka asas niatmu untuk berzikir itu tidak kau bangunkan dari sudut yang benar dan sempurna.

         *    Justru itu kau harus memperbetulkan niatmu dahulu. Kemudian kau bina niatmu itu semata-mata demi Allah.

         *    Setiap ibadah itu seharusnya dibangunkan atas dasar tauhid dan taqwa dan bukan kerna mendambakan ganjarannya.

         *    Orang yang berzikir itu sewajarnya berada di maqam ikhlas. Bersabda Nabi saw, mafhumnya  :

"Sesungguhnya (nilai) niat itu lebih utama dari perbuatan."

2.     *    Apabila kau tidak mengenal-Nya melalui misykat qalbumu, maka zikirmu itu bertindak atas kemahuan nafsumu sendiri.

         *    Kesilapanmu itu adalah kerana kau terlalu bergantung dengan amalmu dan tidak dengan rahmat dan kasih-sayang Allah.
         Lantaran itu kau menganggap zikirmu adalah drp usaha dirimu sendiri dan bukan drp kurniaan Allah.

3.      *    Kau beranggapan ketika kau berzikir bahawa kaulah yang mengingati Allah dan Allah itulah yang diingati.

          *    Lantaran demikian, sebenarnya kau tidak berserahkan dirimu sepenuh-penuhnya kepada Allah, tiada sifat tawakal dan redhamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya redha dan tawakal.

          *    Bagaimana mungkin kau dapat dekat dengan Allah selagi kau masih belum berserah diri kepada Allah?

4.      *    Sesungguhnya tiada yang mengingati Allah melainkan Allah,  tiada yang memuji Allah melainkan Allah.
          Dirimu hanyalah bekas penzahiran Allah. Kau sebenarnya tiada, kosong semata-mata.

         *    Kau bukanlah kau sebenarnya. Ketika kau berzikir, sebenarnya bukan kau yang berzikir, tetapi Allah yang berzikir memuji DzatNya sendiri. Kau sekadar menjadi alat pilihanNya.

         *    Suara zikir yang melantun keluar drp lisanmu adalah sebenarnya suara Allah. Kau sekadar berzikir di lidah dan Qalbumu sedangkan pezikir yang hakiki adalah takluq sifat Kalam Allah.

         *    Gema zikir yang menerawang dalam batinmu adalah sebenarnya kalam Allah. Sayangnya kau tidak menyedarinya...kerana tidak mengenaliNya...bahawa Dialah hakikat disebalik sesuatu.

5.      *    Janganlah kau berzikir dengan tujuan zikir kerana zikir.
         Kerana ini akan membuatmu terperangkap dan terpesona di maqam yang akan memperlihatkan pelbagai keajaiban karamah, tetapi ini jugalah yang menghambatmu dalam perhubungan makrifat dengan Allah.

         *    Pedulikan tentang keajaiban-keajaiban zikir yang terutamanya boleh mendatangkan pujian dan gelaran orang kepadamu sebagai 'Wali'.
       
         *    Berzikirlah drp Allah dengan Allah kepada Allah bersama Allah untuk Allah dan demi Allah.

         *    Tutuplah rapat-rapat pintu bibirmu agar zikir itu tidak kedengaran oleh sesiapa pun, hatta malaikat yang bertugas mencatatkan amalmu di bahu kanan pun tidak tahu di manakah munculnya zikir itu.

         *    Biarkan Allah sahaja yang tahu zikir itu berada di dalam 'Sirrmu' – ( lubuk rahsia dalam batinmu ) yakni di kamar yang Jibrail sendiri pun dilarang memasukinya, agar kau terlepas drp rasa ujub dan riak serta tidak dipuji orang.

6.      *    Jika kau telah dapat menjalankan zikir atas rasa ikhlas semata-mata kepada Allah dan Allah redha kepadamu.  -    ketahuilah bahawa ikhlas itulah tauhid sebenarnya,

         *    Allah sendiri yang akan membimbingmu dan mengajarkanmu zikir yang khusus yang hanya kau sahaja yang mengetahui tentang rahsia zikir itu.
     
         *    Zikir itu tidak diajarkan atau diketahui oleh orang awam, sebagai sarana untuk kau bertemu, mengenal dan bersama dengan-Nya.

7.      *    Dan terakhir sekali apa yang ingin kukatakan; tinggalkanlah semua dunia dan akhirat dan bersamalah hanya dengan Allah dalam setiap tujuan.

         *    Kau harus mematikan seluruh wujud dirimu. Selagi ada wujud dirimu, maka Zikir Haq ini mustahil dapat kau lakukan dengan sebaiknya.

         *    Zikir Haq itu ialah  :
ingat kepada Allah dengan Allah bersama Allah dalam sudut qalbumu yang terdalam serta dalam suasana yang paling diam dan hening tanpa perlu mengeluarkan sebarang ucapan hanya merasakan kehadiran Allah itu ada bersama-samamu di mana saja kau berada,

         *    sehinggalah kau dapat merasakan bersatu dengan-Nya seperti terbakarnya besi ke dalam api, besi itu menjadi api, api itulah besi yang membakar
          -    tidak kau lihat sesuatu sebelumnya melainkan Allah,
       
          -    tidak kau lihat sesudahnya melainkan Allah, tidak kau lihat sesuatu di dalamnya melainkan Allah,

          *    akhirnya tiada lagi yang wujud melainkan Allah di dalam maqam Insan Al-Kamil
          –  sampai cukup masanya besi telah keluar dari api sebagai besi yang indah dan sempurna,
          -   tidak lagi sebagai besi yang hodoh dan berkarat serta berkebaikan buat kehidupan dunia dan akhirat.

****

ALLAHU  AKBAR

By: ustadz iqbal

Selasa, 21 Mei 2019

Kisah Tentang Ijazah

Kisah Tentang Ijazah
Sebuah cerita cukup menarik yang perlu kita simak. Seorang yang bernama Abu Nahar mengamalkan berbagai amalan dan wirid-wirid bersumber dari suatu kitab, tanpa mendapat ijazah dari seorang guru. Abu Nahar melakukan amalan selama 20 tahun lamanya.
Dalam melakukan amalan, dia merasa mengalami peristiwa-peristiwa ghaib. Misalnya dia selalu dijaga oleh 7 malaikat penjaga asma’, memperoleh bimbingan khusus secara ghaib dari seorang waliyullah (kekasih Allah), bertemu dengan khodam penjaga surah Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.
Suatu hari Abu Nahar bertemu dengan Syaikh Aqil Al–Munbaj kemudian bertanya kepadanya, ”Wahai Abu Nahar, amalan apa yang kau lakuka selama 20 tahun ini?” Abu Nahar menjawab, “Aku mengamalkan surah Al–Fatihah dan Al–Ikhlas beserta doanya yang aku dapatkan dari Kitab Nuuan.”
Lalu Syaikh Aqil menengadahkan kepalanya ke arah langit dan berkata, “Janganlah sekali–kali kamu tertipu daya oleh setan seperti ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada kedua auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al – A’raf : 27).”
Seketika itu pula Abu Nahar terjatuh tak sadarkan diri. Syaikh Aqil lalu mengusap wajahnya, memukul dadanya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya.
Ketika sadar, beberapa orang menghampiri Abu Nahar dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi kepadamu?” Abu Nahar pun menjawab, “Ketika Syaikh Aqil menatap langit, sesungguhnya aku melihat para malaikat turun membawa cahaya.”
Lalu Syaikh Aqil mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan benih–benih mahabbah.
Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai Abu Nahar, janganlah engkau mencari cinta Allah dengan ada tujuan maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan. Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Syaikh (Guru).”
Dari kisah tersebut bahwa jelas ijazah sangatlah penting diberikan oleh guru kepada muridnya dalam mengamalkan sebuah amalan ilmu hikmah. Sebuah ilmu spiritual yang tidak bisa begitu saja langsung dipelajari melalui sumber literatur, tetapi harus dengan ijazah dari seorang guru yang benar-benar mengetahuinya. Dengan adanya guru, tentu seorang murid akan dibimbing dan diarahkan sehingga ilmu yang dipelajarinya akan menajdi berkah dan jauh dari tipu daya setan.

Senin, 20 Mei 2019

THORIQOH

THORIQOH merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.
Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam.
Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.
Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan dia hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.
Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa pada zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah di mana upacara Bai’ah/Bai'at dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.
Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah.

Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandi

ADAPUN gelaran nama THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini mula masyhur pada zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman.
Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.
Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.
Kemudian pada zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.
Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya dia dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah dia menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan dia telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang pesat dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.
Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.
Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.
Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seorang Penyair Sufi pernah berkata,
Al –‘Ajzu ‘An Darakil Idraki Idraku, Wal Waqfu Fi Turuqil Akhyari Isyraku.
Seseorang yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik.

HADHRAT Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa thoriqoh yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain. ”
Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan THORIQOH NAQSYABANDIYAH dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum dia menerima Silsilah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dia telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Dia telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya. ”
Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.
Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.
Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain.
Kerana itulah Para Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.
Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad. ” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang. ”
Yakni barangsiapa yang menuruti THORIQOH kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.
Di dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.

Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandi (1318 – 1389), adalah pendiri tariqat Naqsyabandi, yang merupakan salah satu tariqat yang cukup besar dan berpengaruh dalam gerakan tasawuf.
Syeikh Baha-ud-Din dilahirkan pada tahun 1318 di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat Bukhara, yang juga merupakan tempat di mana ia wafat pada tahun 1389. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan serta daerah di dekatnya, Transoxiana. Ini dilakukan untuk menjaga prinsip "melakukan perjalanan di dalam negeri", yang merupakan salah satu bentuk "laku" seperti yang ditulis oleh Omar Ali-Shah dalam bukunya "Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi". Perjalanan jauh yang dilakukannya hanya pada waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktikkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
Pisahnya Baha-ud-Din dari lingkaran kelompok Amir Kulal ini mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya didapat dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad.
Syeikh Baha-ud-Din Naqshband wafat dan dimakamkan di desa asalnya pada tahun 1389. Makamnya merupakan tempat yang banyak dikunjungi peziarah di Bukhara.

Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”
Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi. ”
Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi. ”
Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini. ”
Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan. ”
Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku. ”
Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan. ”
Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci. ” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta. ”
Dia telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu:
Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan, Khalwat Dar Anjuman.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas iaitu:
Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata,
“Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam. ”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.
Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya.
Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia menyucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.
Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.
Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Karunia Kepada Kita. Amin.


Inti ceramah bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada kesucian hati dan sifat shidq si pembicara


Ketika Syaikh Abdul Qodir Jailani Berceramah

Syeikh 'Abdulqadir Al-Jailani bila berceramah menggunakan bahasa yang sangat sederhana. Anak beliau yang telah banyak menuntut ilmu dan gemar berceramah berkata dalam hati, "Jika aku diizinkan berceramah, tentu akan lebih banyak orang yang menangis."

Suatu hari Syeikh 'Abdulqadir Al-Jailani ingin mendidik anaknya. la berkata kepadanya, "Wahai anakku, berdiri dan berceramahlah." Si anak kemudian berceramah dengan sangat bagus. Namun, tidak ada seorang pun yang menangis dan merasa khusyu'. Mereka bahkan bosan mendengar ceramahnya.

Setelah anaknya selesai berceramah Syeikh 'Abdulqadir naik ke mimbar lalu berkata, "Para hadirin, tadi malam, isteriku, ummul fuqoro menghidangkan ayam pangang yang sangat lezat, tapi tiba-tiba seekor kucing datang dan memakannya." Mendengar ucapan ini, para hadirin menangis dan menjerit Si anak berkata, "Aneh..., aku bacakan kepada mereka ayat-ayat Quran, hadis-hadis Nabi, syair dan berbagai akhbar,tidak ada seorang pun yang menangis. Tapi, ketika ayahku menyampaikan ucapan yang tidak ada artinya, mereka justru menangis. Sungguh aneh, apa sebabnya?".

Habib 'Umar bin Hafidz berkata:
Inti ceramah bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada kesucian hati dan sifat shidq si pembicara. Sewaktu Sayidina Jailani berbicara, para hadirin menangis karena mengartikan kucing dalam cerita befiau sebagai setan yang mencuri amal anak cucu Adam dengan cara menimbulkan sikap riya, ujub dan sombong. Ada yang menangis karena mengibaratkan cerita itu dengan keadaan su-ul khotimah, yakni ia membayangkan seseorang yang memiliki amal sangat banyak, tapi usianya berakhir dengan su-ul khotimah. Mereka semua menangis dan merasa takut kepada Allah hanya karena ucapan biasa. Sesungguhnya ucapan itu telah membuat mereka berpikir, menerbitkan cahaya di hati mereka, berkat cahaya yang memancar dari hati Syeikh Abdulqadir Al-Jailani.

Kita juga mendengar bahwa kesan yang ditimbulkan oleh ucapan-ucapan Habib *Alwi bin Syihabuddin sangat kuat, padahal beliau bicara dengan bahasa yang sangat sederhana. Walau beliau hanya berbicara, "Lihatlah keadaan kita ini, bagaimana amal kita?" Namun, ucapan behau ini menghunjam ke dalam hati pendengarnya dan meninggalkan kesan sangat dalam. Sehingga mereka menangis, menjadi khusyu' dan bertobat kepada Allah. Semua ini karena sifat shidq dan keikhlasan beliau.

Jadi yang paling banyak memberikan manfaat adalah sikap shidq dan ikhlas. Kita boleh saja membiasakan diri untuk berceramah, memilih ucapan yang dapat dipahami, yang baik dan bagus, mempelajari berbagai buku dan menyimak ceramah para khotib dan ucapan (kalam) kaum arifin. Namun, kita harus bersandar kepada Allah Ta'ala, memohon kepada-Nya agar dapat bersikap shidq dan ikhlas.

Habib Muhammad bin 'Abdullah Al-'Aidarus berkata:
Ucapan akan muncul sesuai dengan keadaan batin pembicara: tenang ataupun gelisah. Sebab, keadaan batin mempunyai hubungan sangat erat dengan kata-kata yang dituturkan. Bukankah kamu pernah melihat seseorang berbicara kepada temannya dengan kalimat yang pada lahirnya kasar dan buruk, tapi karena muncul dari jiwa yang baik, maka ucapannya tadi tidak berpengaruh, atau tidak memberikan kesan buruk kepadanya. Ucapan semacam ini, jika keluar dari jiwa yang penuh gejolak dan hati yang buruk akan menggerakkan dan membangkitkan keburukan dari lawan bicaranya.

Oleh karena itu, pada saat berbicara hendaknya manusia memperhatikan keadaan jiwanya ataupun suasana hati orang lain agar tercapai kebaikan dan ketenangan. Betapa indah ucapan Sayidina 'Ali kwh ketika menjelaskan rahasia ucapan:
Wadah (lahan) ucapan adalah hati, gudangnya adalah
pikiran (fikr), penguatnya adalah akal, pengungkapnya
adalah lisan, jasadnya adalah huruf, ruhnya adalah
makna, hiasannya adalah i'rab dan aturannya adalah
kebenaran.

Pengaruh ucapan pada pendengar tergantung pada jiwa pembicara. Jika ucapan tersebut muncul dari jiwa yang kuat, maka akan memberikan kesan yang kuat. Dan jika muncul dari jiwa yang lemah, maka akan memberikan kesan yang lemah. Oleh karena itu, sebelum berbicara manusia harus memperhatikan keadaan jiwanya agar kalimat yang ia ucapkan muncul dari jiwa yang tenang (sakinah).