Mengenai Saya

Foto saya
Thariqah Sammaniyah al-'Aliyyah al-Qodiriyah al-Khalwatiyah - Syatthariyah 'Arifin Billah - Syatthariyah Ashaliyah - Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dibawah bimbingan : Guru Mursyid Tengku Mudo al-Khalidi as-Sammani as-Syatthari. Dengan alamat : Kelurahan.Jombang, Kecamatan.Ciputat, Kota.Tagerang Selatan, Provinsi.Banten. WhatsApp Admin : 082385789999

Minggu, 16 Juni 2019

Syair Thariqat

Pondasi agama ada tiga bagian
Ada Iman, Islam dan Ihsan
Ketiganya saling berkaitan
Bagaikan kesatuan yang tak terpisahkan
Aqidah dilahirkan dari Rkun Iman
Fiqih dari Rukun Islam dijadikan
Tasawuf berasal dari Rukun Ihsan
Ia bagaikan ruh bagi kedua bagian
Tanpa tasawuf Aqidah akan hampa
Tanpa tasawuf fikih ibadah tanpa rasa
Shalat bagaikn robot tak merasa
Puasa hanya lapar dan dhaga
Berfikih tanpa tasawuf disebut fasik
Tasawuf tanpa fikih disebut zindik
Menjalankan keduanya adalah sidik
Demikianlah kata Imam Malik
Adalah takhalli, tahalli dan tajalli
Takhalli adalah pembersihan diri
Sesudahnya Tahalli menghiasi hati
Tajalli penampakan sifat-Nya dalam diri
Ada yang menyebut takhalli itu tazkiyah
Tahalli disamakan dengan tashfiyah
Kesemuanya hanyalah istilah
Betapa tasawuf kaya dan ilmiah
Usaha hamba adalah makasib
Anugerah Allah adalah mawahib
Makasib disebut dengan maqamat
Mawahib disetarakan dengan halat
Maqamat diawali dengan pintu taubat
Jika tidak melaluinya semua tiada didapat
Dari faqir, sabar mencapai makrifat
Kesemuanya tahapan jangan terlewat
Halat adalah anugerah
Khusyu wijlu fana dan jadzbah
Kasyfi makrifat hingga mahabah
Semua diterima sebagai waridat Ilahiyah
Anugerah bukan datang tiba-tiba
Harus diawali dengan usaha hamba
Sehasta diganti-Nya dengan sedepa
Allah pun mengingatnya jika ia tak lupa
Jalan makrifat akan menjadi mudah
Jika menempuh riyadhah dan mujahadah
Pada awalnya terasa payah
Pintu kebahagiaan lalu didapat sudah
Semua penyakit batin musti musnah
Dengan menekuni proses mujahadah
Hubbud Dunia, dendam dengki
Sombong ujub tidaklah terpuji
Syariat dikuatkan oleh hakikat
Hakikat bersandar kepada syariat
Ahli makrifat telah sepakat
Keduanya senantiasa terikat
Lihatlah tarekat dalam lima perangkat
Adanya Mursyid dan sumber yang kuat
Murid dan prosedur sebagi pengikat
Tak lupa praktik agar pahamnya cepat
Hakikat sebagai inti agama teranglah sudah
Semakin tipis hijab hamba adalah buah
Bersih jiwa dari akhlak rendah menghiasinya dengan sifat mahmudah
Dan bramal shalih tiadalah payah
Ikut jalan Khalifah Rasul
Adalah jalan yang unggul
Mencapai makrifat dan wushul
Martabat iman sahabat tersusul
Ingatlah wahai sahabat
Hidup ini begitu singkat
Jika kita tidak segera hijrah dan taubat
Hilang bahagia ajal mendekat
Ujian hidup semakin berat
Jalani sendiri tidak akan kuat
Tempuhlah syariat, tarekat, hakikat, makrifat
Insya Allah kita selamat
Agama tanpa pembimbing terasa payah
Keimanan kuat berubah goyah
Secara ruhani ia adalah ayah
Membmbing anaknya tanpa keluh kesa

Suluk Naqsyabandiyah al-Khalidiyah

Penulis: Hariadi
Suluk adalah istilah yang lazim terucap pada kalangan penganut Islam tradisional, lebih khusus pada penganut tarekat Naqsabandiyah. Suluk secara harfiah bermakna jalan. Orang yang menempuh jalan tersebut disebut saalik. Menurut istilah, suluk dapat dimaknai sebagai upaya hamba (saalik) mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah yang bertujuan menyucikan diri dari berbagai bentuk kesalahan dengan memperbanyak zikrullah.
Dalam melaksanakan suluk, para saalik dibimbing oleh guru yang lazim disebut mursyid. Muryid membimbing para saalik untuk menjalani tahap demi tahap latihan (riadhoh). Tahapan yang umum dilakukan mulai dari pembersihan diri dari berbagai kesalahan (takholli) kemudian mengisi diri dengan hal hal yang positif (tahalli) dan terakhir merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas dan dalam segala aktifitas (tajalli).
Bersuluk merupakan salah satu tradisi ke Islaman yang terbilang awal pada masyarakat muslim Minangkabau. Praktik suluk terdapat di berbagai daerah. Tempat tempat pelaksanaan suluk yang termashur misalnya di Lubuk Landur Pasaman Barat, Kumpulan dan Bonjol di Pasaman, Belubus, Batu Hampar, Taeh dan Taram di Lima Puluh Kota dan banyak lagi daerah yang mempunyai surau suluk. Merujuk informasi dari Engku Mudo Khalis untuk daerah Lima Puluh Kota saja ada sekitar 200 surau suluk yang masih melaksanakan setiap tahunnya.
Beberapa surau suluk yang terdapat di daerah Lima Puluh Kota di antaranya surau suluk Syekh Ilyas di Pandam Gadang, surau suluk Ongku Boncah di Taeh Baruah, surau suluk Buya Zed di Koto Tuo Mungka, surau suluk Buya Edison Kasim di Sarilamak, surau suluk Almarhum Datuak Angso di Lubuak Batingkok Tanjuang Pati, surau suluk Angku Mudo Sawir di Taram dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus dan banyak lagi surau suluk lainnya.
Sebutan terhadap sebuah surau suluk umumnya dikaitkan dengan nama mursyid yang mendirikan dan menjadi guru yang pertama kali di surau tersebut. Setelah mursyid yang mendirikan surau pertama kali meninggal dunia, tongkat estafet dilanjutkan oleh anak atau kemenakan. Pada beberapa surau ada juga yang dilanjutkan oleh murid pilihan atau murid kesayangan mursyid. Beberapa surau suluk telah mengalami silih generasi beberapa kali. Namun beberapa surau suluk ada juga yang terhenti karena tidak ada lagi pelanjutnya.
Untuk daerah Lima Puluh Kota surau suluk yang mememegang peran cukup penting adalah surau suluk di Batuhampar dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus. Beberapa mursyid di surau surau suluk sekarang mempunyai keterkaitan silsilah keilmuan dengan kedua surau suluk ini.
Pelaksanaan Suluk
Pelaksanaan suluk pada umumnya dimulai sepuluh hari sebelum bulan Ramadhan dan selesai pada saat hari raya Idul Fitri. Beberapa surau suluk ada juga yang melaksanakan pada bulan Zulhijjah. Lama pelaksanaan suluk ada yang empat puluh hari ada juga yang dua puluh hari. Para Saalik yang pertama kali melaksanakan suluk, umumnya melaksanakan selama empat puluh hari. Sedangkan yang sudah pernah melaksanaan pada tahun sebelumnya melaksanakan empat puluh hari atau dua puluh hari. Namun hal itu bergantung kepada kesanggupan masing masing.
Para saalik pada sebuah surau suluk tidak hanya berasal dari tempat sekitar surau. Pada beberapa surau suluk para saalik juga datang dari tempat yang jauh bahkan ada yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Dari sigi usia, para saalik ada yang tua dan ada juga yang masih muda. Namun demikian umumnya para saalik berusia di atas empat puluh tahun.
Selama pelaksanaan suluk, para saalik memfokuskan diri melaksanakan ibadah, menjaga adab adab, memperbanyak zikir dan melakukan ibadah berdasarkan bimbingan mursyid. sehingga tujuan suluk tercapai dengan baik. Para Saalik tidak disibukkan oleh urusan konsumsi, karena urusan tersebut ditangani oleh panitia bagian dapur umum dengan pembiayaan bersumber dari para saalik.
Tempat suluk umumnya terdapat di bagian samping dalam surau. Masing masing saalik menempati ruang berukuran sekitar satu setengah meter kali dua meter. Sekat satu tempat dengan tempat lainnya hanya terbuat dari kain putih yang sekaligus berfungsi sebagai kelambu. Alas tempat duduk biasanya kasur yang bertujuan untuk kenyamanan dalam berzikir, ada juga yang hanya beralas sajadah saja sebuah tanda betapa kuatnya iktikadnya.
Selama pelaksana suluk para saalik akan berada lebih banyak di ruangan masing-masing. Mengurangi berbicara dan berinteraksi. Para saalik keluar hanya untuk hajat syar’i. Para saalik fokus melaksanakan petunjuk petunjuk mursyid. Dalam proses tersebut para saalik akan meperolehan pengalaman spiritual berbeda antara satu saalik dengan yang lainnya bergantung kepada niat dan kesungguhan dalam menjalankan setiap wirid yang diajarkan dan juga iradat Allah.
Bagi saalik yang menurut pandangan mursyid telah dibukakan oleh Allah hijab (kasful hijab) akan diberikan gelar dan juga otoritas untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh dan Juga diperbolehkan untuk mendirikan surau suluk sendiri. Beberapa surau suluk, disamping memberi gelar juga mengeluarkan ijazah tertulis sebagai bukti silsilah keilmuan.
Dengan demikian setiap mursyid mempunyai silsilah keilmuan yang bersambung, diakui dan dapat dipertanggung jawabkan [Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 14 April 2019

Kamis, 06 Juni 2019

Tarekat Sammaniyah

Tarekat ini berkembang pesat di wilayah Afrika bagian utara, terutama Sudan. Di samping Naqsyabandiah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).

Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini berkembang luas.

Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Sudan.

Syekh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.

Syekh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.

Syekh Samman Sang Pendiri Sammaniyah

Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm Abdul Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.

Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.

Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.

Kemuliaan

Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.

Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.

Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.

Tarekat Sammaniyah di Indonesia

Tarekat Sammaniyah dibawa ke Indonesia oleh empat orang ulama yang dijuluki dengan empat serangkai. Sebagaimana tarekat-tarekat besar lainnya seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan Syattariyah, Tarekat Sammaniyah juga berkembang di Indonesia. Di bumi nusantara ini, tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M), dibawa oleh sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah). Mereka yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah terdapat empat orang murid asal Indonesia, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”

Karena peran keempat tokoh tersebut, Tarekat Sammaniyah berkembang di Tanah Air, seperti Aceh, Sumatra Selatan, Jakarta (Betawi), Kalimantan (Banjar), dan Sulawesi (Bugis). Keempatnya berjasa besar dalam memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Indonesia.

Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Awalnya, Syekh Samman merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. ia kemudian memadukan berbagai unsur tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri dengan nama Tarekat Sammaniyah.

Menurut Usman Said, dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawuf (1981,258), di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan, Sumatra terutama Palembang dan beberapa daerah lainnya. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah sekitarnya. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh Abdussamad al-Falimbani, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan Tarekat Sammaniyah di nusantara, terutama Sumatra dan daerah sekitarnya.

Sedangkan di Jakarta, diperkenalkan oleh Syekh Abdurrahman al-Masri, dan di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarmasin, diperkenalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, yang menjadi menantu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ulama lainnya yang berperan besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durun Nafis (Permata yang Indah). Kitab ini berisi tentang masalah tasawuf.

Menurut Abu Bakar Atjeh, ciri-ciri Tarekat Sammaniyah ini, antara lain, adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir Laa ilaaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah. (Pengantar Ilmu Tasawuf, 1979, 47).

Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman, antara lain, memperbanyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin. Tidak mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat. sifat, dan afal-Nya.

Penyebaran di Indonesia

Penyebaran Tarekat Sammaniyah di wilayah Sumatra, dilakukan oleh Syekh Abdussamad al-Falimbani (wafat 1800 M). Menurut riwayat, sebelum ke Palembang, Syekh Abdussamad al-Falimbani dahulunya menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Aceh. Ia mengajarkan doa dan zikir yang didapatkannya dari Syekh Samman. Mulanya tarekat ini murni mengajarkan zikir yang termuat dalam ratib Samman. Namun dalam perkembangannya, zikir itu dinyanyikan oleh sekelompok orang.

Menurut Snouck Hurgronje (orientalis yang menulis tentang Islam di Indonesia), Syekh Samman menulis sejumlah ratib yang terkenal dengan nama Ratib Samman. Di Aceh, Ratib Samman dan atau Hikayat Samman, sangat populer. Ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan (tarian) rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian). (Usman Said, 1981, 286). Tarian Saman ini. hingga kini sangat terkenal di seantero nusantara yang berasal dari Aceh.

Kendati awal mulanya berkembang di Aceh, namun penyebaran Tarekat Sammaniyah berkembang luas di Palembang (Sumatra Selatan), tempat kelahiran Syekh Abdussamad Al-Falimbani, yakni sekitar abad ke-18.

Martin Van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul “Tarekat dan Politik; Amalan untuk Dunia dan Akhirat”, Tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari Tanah Suci oleh murid-murid Abdussamad Al-Falimbani. Menurut Van Bruinessen, Syekh Abdussamad al-Falimbani adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia.

Sementara itu, di daerah Kalimantan Selatan, perkembangan Tarekat Sammaniyah ini, menurut Zulfajamalie dalam Menelusuri Penyebaran Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar, dilakukan oleh tga ulama terkenal. Mereka adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.

Syekh Muhammad Asyad Al-Banjari

Syekh Muhammad Arsyad, jelas Zulfajamalie, menyebarkan Tarekat Sammaniyah di daerah Kalampayan Martapura, Syekh Muhammad Nafis di daerah Kelua (Kabupaten Tabalong), dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis di daerah Tanah Laut, Kota Baru, Pagatan, dan daerah sekitarnya.

Sepeninggal ketiga tokoh tersebut, penyebaran Tarekat Sammaniyah diteruskan oleh ulama-ulama lainnya dan sebagian masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Di antaranya Syekh KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Ijai, wafat 2005) di daerah Sekumpul (Martapura), dan Syekh Muhammad Syarwani Abdan (Bangil, Jawa Timur).

Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999, 66), menyebutkan, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari memiliki peran yang cukup besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah.

Hal senada juga diungkapkan Laily Manshur dalam Kitab ad-Durun Nafis, Tinjauan atas Ajaran Tasawuf dan Ahmadi Isa dalam Syekh Muhammad Nafis dan Kitabnya al-Durr al-Nafis.

Ada beberapa alasan mengenai penyebaran Tarekat Sammaniyah yang dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari di Kalimantan Selatan. Pertama, Laily Manshur menulis, Muhammad Nafis juga berguru pada Syekh Muhammad Samman. Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma wa al-Shifat iva al-Zat al-Taqdis, berisi pelajaran tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat, dkn afal dan ditulisnya pada 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Makkah. Termaktub pengakuannya bahwa Syafii adalah mazhab fikihnya, Asyari itiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi al-Baghdadi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Syattariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya, dan Sammaniyah minumannya.

Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah, Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.

Wa Allahu Alam.


Dari berbagai sumber

Tarekat Sammaniyah Dari Pattani, Palembang, sampai Betawi

Tarekat Sammaniyah Dari Pattani, Palembang, sampai Betawi.

Oleh Rakhmad Zailani Kiki
Pada hari Selasa, 4 Nopember 2014, pengurus dan anggota Majelis Agama Islam Wilayah Songkhla, Thailand yang berjumlah 36 orang, terdiri atas laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh yang dipertua (ketua) Tuan Haji Zakaria Binsaleh, melakukan kunjungan dan pertemuan silaturahim dengan pengurus MUI DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Centre (JIC) di Ruang Muallim KH. M. Syafi`i Hadzami (Audio Visual) JIC. Pertemuan silaturahim ini difasilitasi oleh Biro Pendidikan dan Mental Spiritual (Dikmental) Provinsi DKI Jakarta.

Namun yang menarik perhatian saya pada pertemuan silaturahim ini adalah penjelasan Abdul Halim Lateh, salah seorang pengurus Majelis Agama Islam Wilayah Songkhla, pada sesi dialog. Sambil tangan kirinya memegang kopian risalah Hidayatus Salikin fi Suluk Maslakil Muttaqin karya Syekh Abdus Samad Al-Palimbani, ia membacakan sebuah kopian naskah bertulisan Jawi (Arab-Melayu). Menurut naskah tersebut, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani dikuburkan di sebuah kampung (Kampung Bangkrak), Distrik Chana (Melayu: Chenok),  Songkhla, Thailand.

Menurut Abdul Halim Lateh, yang dikuburkan di Chana adalah hanya tubuh Syekh Abdus Samad Al-Palimbani, sedangkan kepalanya dibawa ke Bangkok oleh tentara Siam. Sebab kematiannya karena ia datang ke Thailand untuk berpererang karena mendukung perjuangan kawannya, Syekh Daud bin Abdullah Al-Fatani, dan kaum Muslimin Pattani yang berjihad melawan tentara Siam. Dalam peperangan, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani ditangkap tentara Siam dan kemudian dihukum pancung.

Penjelasan Abdulhalim Lateh yang mahir berbahasa Melayu ini memperkuat tesis bahwa ulama yang bernama lengkap Abdus Shamad bin Abdullah Al Jawi Al-Palimbani ( sumber-sumber Arab menamakannya Sayyid Abdus Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi) wafat sebagai syahid di medan perang.

Abdul Halim Lateh telah menyebut nama dua orang ulama yang saling bersahabat, yaitu Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani dan Syekh Daud bin Abdullah Al-Fatani. Inilah yang menarik untuk dijelaskan terkait dengan judul tulisan saya kali ini.

Syekh Daud bin Abdullah A-Fatani adalah seorang ulama terkemuka, pengikut dan penyebar Tarekat Sammaniyah di Thailand Selatan. Ia lahir pada tahun 1740M, di Kresik, Pattani, Thailand Selatan. Ia kemudian belajar agama ke Aceh, kemudian ke Tanah Suci dan berguru kepada Syekh Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Seperti sahabatnya Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani, ia juga produktif menulis meliputi ilmu fiqih, ushuluddin, dan tasawuf.

Sedangkan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani merupakan ulama Melayu-Indonesia yang paling menonjol di dalam jaringan ulama abad ke-18 Masehi. Ia banyak menghabiskan aktivitasnya sebagai penulis dan pengajar di kota Makkah dan Madinah. Sebagian karya-karyanya dijadikan bahan pengajaran di banyak majelis-majelis taklim bahkan sampai hari ini, seperti kitab Hidayatus Salikin dan kitab Sairus Salikin.

Yang paling dikenal juga, ia adalah salah satu tokoh pembawa dan penyebar Tarekat Sammaniyah di Indonesia. Dikisahkan, dari Palembang, ia melanjutkan studinya ke Kota Mekkah dan Madinah bersama sahabat-sahabatnya dari Palembang, yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin. Di Haramain ini, ia belajar selama 20 tahun kepada ulama-ulama terkenal. Bidang studi yang paling digemarinya adalah Tauhid dan Tasawuf yang ia belajar langsung kepada Syekh Muhammad Samman. Kepada gurunya inilah ia mengambil Tarekat Sammaniyah yang zikirnya dikenal dengan Ratib Samman. Ia kemudian menyebarkan Tarekat Sammaniyah dan Ratib Samman di Palembang.

Sedangkan di Betawi, menurut Siti Asiyah di dalam karya ilmiahnya Tarekat Sammaniyah dan Tradisi Manaqib Samman pada Masyarakat Betawi bahwa tokoh yang berjasa menyebarkan Tarekat Sammaniyah dan Ratib Samman adalah Abdur Rahman  Al-Batawi Al-Mashri. Ia ulama  Timur Tengah yang kemudian bermukim di Betawi di daerah Petamburan. Ia adalah kawan seperguruan dengan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani, murid Syekh Samman. Selain Abdur Rahman Al-Mashri Tokoh lainnya yang berjasa adalah Guru Mughni Kuningan. Ia merupakan ulama Betawi terkemuka yang menyebarkan Ratib dan zikir Samman di masyarakat Betawi sepulang ia belajar di Tanah Suci. Selain kedua tokoh ini, murid-murid Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani juga turut berjasa menyebarkan Tarekat Sammaniyah di tanah Betawi.

Begitu gigihnya murid-murid Tarekat Sammaniyah menyebarkan amalannya di Tanah Betawi sehingga sebagian besar masyarakat Betawi saat itu menjadi pengikutnya atau menjalankan amalan-amalannya sehingga Tarekat Sammaniyah disebut sebagai tarekatnya orang Betawi.

Namun, Tarekat Sammaniyah saat ini mulai jarang diikuti orang Betawi. Penyebabnya adalah pengaruh dari pihak-pihak yang yang menyatakan bahwa ada amalan dan ucapan di Tarekat Sammaniyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan dikhawatirkan merusak akidah. Tetapi, munculnya pernyataan tersebut lebih disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap bacaan-bacaan dan amalan Tarekat Sammaniyah. Misalnya, di dalam kitab Manaqib Syekh Samman terdapat kalimat yang berbunyi “Siapa yang masuk rumahku, maka akan masuk surga”. Memang jika kata “rumah” di kalimat tersebut diartikan secara tekstual, kalimat tersebut merusak akidah. Padahal, pengertian rumah di sini bukanlah rumah sebagai tempat tinggal Syekh Samman, melainkan rumah untuk ibadah, yaitu mushalla atau masjid. Begitu pula tentang tawassul.

Namun bukan hanya pengaruh dari pendapat-pendapat tersebut yang menyebabkan Tarekat Sammaniyah mulai jarang diikuti oleh orang Betawi. Tetapi juga disebabkan ketidakmampuan murid atau penyebar Tarekat Sammaniyah sekarang ini untuk untuk mematahkan tuduhan-tuduhan pihak luar terhadap amalan-amalan juga ucapan-ucapan pemimpin Tarekat Sammaniyah yang dianggap sesat,Padahal, para penyebar dan murid-murid Tarekat Sammaniyah di Indonesia pada periode awal merupakan para pejuang yang mengobarkan semangat, turut berjuang bahkan memimpin jihad fi sabilillah melawan penjajah, melawan kaum kafir yang memerangi mereka. Bahkan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani merupakan tokoh Tarekat Sammaniyah yang justru banyak meluruskan pemahaman tarekat yang berlebihan dan yang dianggap dapat merusak akidah.


*) Penulis kini diamanahi sebagai Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta dan Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre.

Senin, 03 Juni 2019

Takhalli Tahalli Tajalli

Dalam ilmu Tasawuf, tazkiyatu al nafs dimaknai dengan “pensucian jiwa” itu sangat terkait dengan riyadlotu al nafsi, yang tersusun dalam 3 tingkatan:

a. Takhalli: membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran hati,maksiyat bathin.
b. Tahalli: mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji,menyinari hati dengan ketaatan.
c. Tajalli: merasakan akan Ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan.


Minggu, 02 Juni 2019

Yang Tahu dengan RASA adalah yang MEMAKAN

Banyak orang yang ragu masuk dalam dunia zikir melalui Thariqat-thariqat Muatabarah yang ada. Alasan mereka cuma simpel. Yaitu tak ada ayat dan Hadis yang shahih menyuruh/menyarakan untuk masuk Thariqah. Kami rasa, tulisan dibahwah ini bisa memahamkan orang-orang yang berkeyakinan seperti itu.

Seorang murid thariqoh sowan ke asy-Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arobi. Kepada Sang Guru ia berkata:
"Wahai Guru. Masyarakat tidak mempercayai thariqah kita."
Sang Syaikh menjawab:
"Jika ada orang yang memintamu bukti untuk mengetahui tashawwuf, maka tanyalah dia, bagaimana kamu bisa tahu kalau madu rasanya manis?. Jika dia menjawab: aku telah mencicipinya, dan dengan mencicipi aku bisa tahu rasanya., maka katakanlah kepadanya: begitu juga tashawwuf, kamu tidak akan dapat mengetahuinya hingga kau mencicipinya."

ﺟﺎﺀ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻤﺮﻳﺪﻳﻦ ﻟﻠﺸﻴﺦ ﻣﺤﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﻋﺮﺑﻲ قدس الله سره العظيم
ﻓﻘﺎﻝ : ﻳﺎﺳﻴﺪﻱ ﺇﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﻳﺼﺪﻗﻮﻥ ﻃﺮﻳﻘﺘﻨﺎ .

ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ :
" ﺍﺫﺍ ﻃﻠﺐ ﻣﻨﻚ ﺃﺣﺪ ﺣﺠﺔ ﻟﻤﻌﺮﻓﺔ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ،
ﻓاسأله ﻛﻴﻒ ﺗﻌﺮﻑ أﻥ ﺍﻟﻌﺴﻞ ﻃﻌﻤﻪ ﺣﻠﻮ ؟
ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺎﻝ : ﻗﺪ ﺫﻗﺘﻪ ﻭﺑﺎلذﻭﻕ ﻳﻌﺮﻑ .
ﻓﻘﻞ ﻟﻪ : ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻟﺘﺼﻮﻑ ﻻ ﺗﻌﺮﻓﻪ ﺣﺘﻰ تتذﻭﻗﻪ"

Semoga surau-surau Suluak Tarbiyah bisa kembali hidup dan menghidupi rohani masyarakat. Aamiin.

Disalin dari Putra Canduang