Mengenai Saya

Foto saya
Thariqah Sammaniyah al-'Aliyyah al-Qodiriyah al-Khalwatiyah - Syatthariyah 'Arifin Billah - Syatthariyah Ashaliyah - Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dibawah bimbingan : Guru Mursyid Tengku Mudo al-Khalidi as-Sammani as-Syatthari. Dengan alamat : Kelurahan.Jombang, Kecamatan.Ciputat, Kota.Tagerang Selatan, Provinsi.Banten. WhatsApp Admin : 082385789999

Jumat, 05 Juli 2019

BELAJAR DARI SEORANG BAPAK TUA

Sahabatku Engku Mudo Khalis menulis:
BELAJAR DARI SEORANG BAPAK TUA
Setiap saya khutbah Jum’at di kampung itu, saya selalu dijamu makan siang di rumahnya. Setiap bulan selalu begitu (kecuali Ramadhan tentunya), karena jadwal khutbah saya ada di kampungnya sekali sebulan. Ia seorang lelaki tua. Perkiraan saya usianya mendekati 80 tahun, namun karena hidup yang menghendakinya untuk berjuang lebih keras maka fisiknya lebih kokoh dari orang-orang seusianya.
Biasanya beliau duduk pada shaf yang paling depan, di sebelah kiri mimbar. Jauh sebelum saya datang ia sudah duduk bertafakur sambil memegang tasbih di tangan. Saya kenal beliau sebagai sosok yang shaleh sebab saya cukup lama kenal dengannya karena kami sama-sama satu jamaah “Dala’il Khairat”. Di kampung saya cukup banyak kelompok-kelompok yang membaca Dala’il Khairat pada momen-momen tertentu; ada kalanya ketika kenduri pernikahan , akikah, kematian, Maulid Nabi, dan lain-lainnya. Setiap kelompok, terdiri dari bapak-bapak sekitar 8 sampai 20 orang, dipimpin oleh seorang yang pilih karena kemahiran melagukan shalawat. Saya dan bapak tua tadi satu kelompok yang dipimpin oleh Tengku (gelar lulusan Dayah – Aceh) yang berasal dari Meolaboh.
Ia bercerita pada saya, bahwa ia tidak mempunyai pendidikan agama yang cukup memadai karena tidak pernah mengenyam pendidikan di Pesantren. Pendidikan agamanya lebih banyak di surau-surau, yang di kampungnya dulu sangat bertebaran. Saya menduga bahwa guru-gurunya termasuk orang-orang yang rasikh (tetap) dalam ilmu agama, seperti yang saya lihat dari ke-istiqamah-annya dalam beribadah. Bapak tadi pernah berujar, ketika sekolah dasar, ia selalu lewat Surau Simpang –namanya-. Surau itu cukup dikenal di kalangan anaksiak (santri), terutama bagi salik –pejalan tasawuf- sebab surau itu menjadi Surau Suluk Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah tertua di daerah itu. Ulama yang mukim di surau itu ialah Syaikh Abdul ‘Aziz, atau yang lebih dikenal dengan “Baliau Simpang” (wafat 1987 dalam usia lebih dari 170 tahun). Istilah “baliau” di Minangkabau biasanya dijadikan panggilan untuk ulama sufi. Baliau berasal dari kata “beliau”, sebagai bentuk takzim dan hormat pada ulama tersebut. Satu ketika, saat bapak itu berjalan ke sekolah, sang syaikh tengah berada di pinggir jalan. Segan rasanya bertatap dengan syaikh itu, karena begitu wibawa dan pandangan mata yang menundukkan. Namun karena jalan ke sekolah hanya lewat tempat syaikh tadi berada, tak ada pilihan lain kecuali melewati syaikh. Akhirnya ia pun lewat depan syaikh. Ketika berpapasan, sang syaikh memegang kepalanya, cukup lama, sambil berdo’a. Setelah itu syaikh melepaskan pegangan tangannya dan membiarkannya pergi. Kisah ini yang paling diingat oleh bapak tua itu. Acap kali ia mengulang-ulang cerita ini.
Kembali ke pangkal kaji. Pada awal bapak tua mengajak, saya merasa enggan, mengingat waktu setelah Jum’at ada kegiatan, pun takut merepotkan. Tapi ujungnya saya pergi juga memenuhi ajakan untuk makan siang di rumahnya.
Sampai di rumahnya saya terharu. Rumahnya berupa rumah kayu yang sudah lapuk yang berdiri di atas pondasi batu kali; jendelanya ditutup dengan karung beras yang sudah bolong sehingga dapat melihat orang diluar. Kayu-kayu dinding rumahnya tidak rata; jarang dan terlihat sangat tua, niscaya orang diluar dapat melihat orang di dalam. Rumah itu berada di belakang, paling belakang, rumah penduduk setempat. Akses ke rumah itu berupa jalan setapak setelah melewati beberapa kuburan. Meskipun dalam kondisi demikian, saya merasakan kedamaian di rumah itu, jauh dari perasaan yang timbul dari gambaran yang saya utarakan di atas. Dengan senyuman, mungkin yang terbaik, sang bapak menawari saya masuk. Ia terasa sangat bahagia karena dapat membawa orang yang dianggapnya ‘ustadz’ itu di rumahnya. Kebahagiaannya itu tampak dari semangatnya dalam menyambut tamu; mulai dari memasak air panas, mengambil piring, menyiapkan nasi dan lauk pauk, sangat cekatan.
Hal yang membuat saya terharu ialah selembar sajadah yang selalu terbentang di dinding sebelah kanan. Sajadah yang dialas dengan kasur tipis, dilengkapi seutas tasbih, al-Qur’an, Dala’il Khairat, dan Majmu’ Syarif. Di samping sajadah itu ia berbaring untuk menghilangkan letih seharian bekerja. Ia tidak menggulung sajadah itu!!!! Tidak pula menyimpan al-Qur’an, Dala’il Khairat, dan Majmu’ Syarif, dalam rak-rak!!! Sebab itu semua akan dipakai, akan digunakan, seumur hidup.
Bapak tua tadi sangat sering memakai batik, dengan setelan kain sarung. Bila malam tiba ia tidak lupa melengkapinya dengan jas berwarna hitam dan balutan cemiri. Ia selalu berkopiah, kemanapun, dalam keadaan apapun. Ia sosok yang sangat istiqamah. Ia selalu membawa al-Qur’an kecil dalam saku-saku baju sebelah kiri dan tasbih di saku-saku jas sebelah kanan. Bila Subuh hari, ketika jadi imam, ia membawakan Qunut Subuh dengan suara yang serak dan menyayat. Pada Bulan Ramadhan, ia bahkan kuat mengendarai sepeda motor bututnya, yang sering mati di tengah jalan karena sudah layak pensiun, setengah jam perjalanan untuk mencari surau atau mesjid yang melaksanakan Tarawih 20 rakaat. Letihkan ia? Ternyata tidak. Saya mengetahui bahwa beliau pasti tidak mengenal ibarat kitab Hasyiyah Bajuri, atau I’anah Thalibin, atau Syarah Mahalli, dan lain-lain, mengenai Shalat Tarawih. Yaitu perihal Mazhab Syafi’i yang menyebutkan Shalat Tarawih 8 rakaat dengan 2 kali salam itu tidak sah (tidak disebut Tarawih, hanya shalat Muthlak saja). Namun yang dipegangnya ialah kaji ulama-ulama puluhan tahun lalu; sebelum beralih dan beranjak. Sekali ia Syafi’iyyah, sampai ajal ia Syafi’iyyah.
Hidupnya seadanya, apa adanya, sekedar mencukupi, tapi begitu bahagia. Sejak mengenali beliau, saya belum menemukan raut wajah sedih dan beban.... hari-hari itu “datar”... yaitu bahagia saja, ada uang, atau tak ada..... dan semuanya disambut dengan senyum, meskipun usaha hidupnya hanya mengambil gula aren.
Ibadahnya tenang, karena kepalanya tidak dipenuhi oleh pro-konta, antara hujjah dan radd. Tasbihnya berisi, karena ia tidak memikirkan orang-orang yang sibuk membid’ahkan biji tasbih. Zikirnya tetap sebab dalam benaknya tidak gentanyangan berbagai-bagai teori. Sedangkan saya, sering ibadah-ibadah itu dibarengi oleh pemikiran akan orang-orang yang mu’taridhin. Dimana ibadah itu akan tenang! Sedang kita sudah dianggap bersekolah tinggi.
Ilmunya, hanya taat kepada “pitua guru”. “Hanya itulah ilmu saya, ustadz!” ujar’nya’. Ingin saya menyahut, “Itulah ilmu sebenar-benar ilmu, bapak!!!”, tapi terhalang, karena mata sudah terlebih dahulu menjawab dengan lelehan air.
Inilah pelajaran ke”seratus” di kampung, yang tidak akan ditemui di bangku sekolah.
Sekedar mengenang,
Mungka, 25 Ramadhan 1439 H
Angku Mudo Khalis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Terimakasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan"