Mengenai Saya

Foto saya
Thariqah Sammaniyah al-'Aliyyah al-Qodiriyah al-Khalwatiyah - Syatthariyah 'Arifin Billah - Syatthariyah Ashaliyah - Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Dibawah bimbingan : Guru Mursyid Tengku Mudo al-Khalidi as-Sammani as-Syatthari. Dengan alamat : Kelurahan.Jombang, Kecamatan.Ciputat, Kota.Tagerang Selatan, Provinsi.Banten. WhatsApp Admin : 082385789999

Minggu, 16 Juni 2019

Suluk Naqsyabandiyah al-Khalidiyah

Penulis: Hariadi
Suluk adalah istilah yang lazim terucap pada kalangan penganut Islam tradisional, lebih khusus pada penganut tarekat Naqsabandiyah. Suluk secara harfiah bermakna jalan. Orang yang menempuh jalan tersebut disebut saalik. Menurut istilah, suluk dapat dimaknai sebagai upaya hamba (saalik) mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah yang bertujuan menyucikan diri dari berbagai bentuk kesalahan dengan memperbanyak zikrullah.
Dalam melaksanakan suluk, para saalik dibimbing oleh guru yang lazim disebut mursyid. Muryid membimbing para saalik untuk menjalani tahap demi tahap latihan (riadhoh). Tahapan yang umum dilakukan mulai dari pembersihan diri dari berbagai kesalahan (takholli) kemudian mengisi diri dengan hal hal yang positif (tahalli) dan terakhir merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan nafas dan dalam segala aktifitas (tajalli).
Bersuluk merupakan salah satu tradisi ke Islaman yang terbilang awal pada masyarakat muslim Minangkabau. Praktik suluk terdapat di berbagai daerah. Tempat tempat pelaksanaan suluk yang termashur misalnya di Lubuk Landur Pasaman Barat, Kumpulan dan Bonjol di Pasaman, Belubus, Batu Hampar, Taeh dan Taram di Lima Puluh Kota dan banyak lagi daerah yang mempunyai surau suluk. Merujuk informasi dari Engku Mudo Khalis untuk daerah Lima Puluh Kota saja ada sekitar 200 surau suluk yang masih melaksanakan setiap tahunnya.
Beberapa surau suluk yang terdapat di daerah Lima Puluh Kota di antaranya surau suluk Syekh Ilyas di Pandam Gadang, surau suluk Ongku Boncah di Taeh Baruah, surau suluk Buya Zed di Koto Tuo Mungka, surau suluk Buya Edison Kasim di Sarilamak, surau suluk Almarhum Datuak Angso di Lubuak Batingkok Tanjuang Pati, surau suluk Angku Mudo Sawir di Taram dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus dan banyak lagi surau suluk lainnya.
Sebutan terhadap sebuah surau suluk umumnya dikaitkan dengan nama mursyid yang mendirikan dan menjadi guru yang pertama kali di surau tersebut. Setelah mursyid yang mendirikan surau pertama kali meninggal dunia, tongkat estafet dilanjutkan oleh anak atau kemenakan. Pada beberapa surau ada juga yang dilanjutkan oleh murid pilihan atau murid kesayangan mursyid. Beberapa surau suluk telah mengalami silih generasi beberapa kali. Namun beberapa surau suluk ada juga yang terhenti karena tidak ada lagi pelanjutnya.
Untuk daerah Lima Puluh Kota surau suluk yang mememegang peran cukup penting adalah surau suluk di Batuhampar dan surau suluk Syekh Mudo Abdul Qodim di Belubus. Beberapa mursyid di surau surau suluk sekarang mempunyai keterkaitan silsilah keilmuan dengan kedua surau suluk ini.
Pelaksanaan Suluk
Pelaksanaan suluk pada umumnya dimulai sepuluh hari sebelum bulan Ramadhan dan selesai pada saat hari raya Idul Fitri. Beberapa surau suluk ada juga yang melaksanakan pada bulan Zulhijjah. Lama pelaksanaan suluk ada yang empat puluh hari ada juga yang dua puluh hari. Para Saalik yang pertama kali melaksanakan suluk, umumnya melaksanakan selama empat puluh hari. Sedangkan yang sudah pernah melaksanaan pada tahun sebelumnya melaksanakan empat puluh hari atau dua puluh hari. Namun hal itu bergantung kepada kesanggupan masing masing.
Para saalik pada sebuah surau suluk tidak hanya berasal dari tempat sekitar surau. Pada beberapa surau suluk para saalik juga datang dari tempat yang jauh bahkan ada yang berasal dari negeri jiran Malaysia. Dari sigi usia, para saalik ada yang tua dan ada juga yang masih muda. Namun demikian umumnya para saalik berusia di atas empat puluh tahun.
Selama pelaksanaan suluk, para saalik memfokuskan diri melaksanakan ibadah, menjaga adab adab, memperbanyak zikir dan melakukan ibadah berdasarkan bimbingan mursyid. sehingga tujuan suluk tercapai dengan baik. Para Saalik tidak disibukkan oleh urusan konsumsi, karena urusan tersebut ditangani oleh panitia bagian dapur umum dengan pembiayaan bersumber dari para saalik.
Tempat suluk umumnya terdapat di bagian samping dalam surau. Masing masing saalik menempati ruang berukuran sekitar satu setengah meter kali dua meter. Sekat satu tempat dengan tempat lainnya hanya terbuat dari kain putih yang sekaligus berfungsi sebagai kelambu. Alas tempat duduk biasanya kasur yang bertujuan untuk kenyamanan dalam berzikir, ada juga yang hanya beralas sajadah saja sebuah tanda betapa kuatnya iktikadnya.
Selama pelaksana suluk para saalik akan berada lebih banyak di ruangan masing-masing. Mengurangi berbicara dan berinteraksi. Para saalik keluar hanya untuk hajat syar’i. Para saalik fokus melaksanakan petunjuk petunjuk mursyid. Dalam proses tersebut para saalik akan meperolehan pengalaman spiritual berbeda antara satu saalik dengan yang lainnya bergantung kepada niat dan kesungguhan dalam menjalankan setiap wirid yang diajarkan dan juga iradat Allah.
Bagi saalik yang menurut pandangan mursyid telah dibukakan oleh Allah hijab (kasful hijab) akan diberikan gelar dan juga otoritas untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh dan Juga diperbolehkan untuk mendirikan surau suluk sendiri. Beberapa surau suluk, disamping memberi gelar juga mengeluarkan ijazah tertulis sebagai bukti silsilah keilmuan.
Dengan demikian setiap mursyid mempunyai silsilah keilmuan yang bersambung, diakui dan dapat dipertanggung jawabkan [Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 14 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Terimakasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan"